logo_mts192
0%
Loading ...

Menjadi Diri Sejati Dalam Perspektif Psikoanalisa | Dirosah Virtual Ramadhan 1444 H

Oleh: Danang Satrio P, S.Psi *)

Dalam perjalanan sejarah, hidup manusia tidak hanya menjadi subyek dalam segala hal, tetapi sekaligus menjadi objek dari apa yang dihasilkannya. Dari hal itu didapati dua fakta tentang seorang manusia sebagai individu, Pertama: tiap manusia dengan segala fenomena yang dialaminya maupun hal-hal yang dapat dilakukannya merupakan satu diri yang berbeda dari yang lain, manusia adalah makhluk yang unik; Kedua: manusia melalui perilakunya & pola pikirnya juga tampak memiliki persamaan atau kesamaan dengan manusia lainnya, artinya manusia terlahir memiliki fisik yang sama, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya memiliki faktor-faktor kepribadian yang mungkin hampir sama ataupun berbeda sama sekali dengan yang lainnya.

Kepribadian berasal dari kata “pribadi” yang berarti orang/seorang/individu – se (satu) diri – kemudian menjadi kata “sendiri”. Bahasa Inggris menyebut kepribadian dengan “personality“, berasal dari kata person, yang juga berarti orang (manusia) seorang/individu. Begitu juga dalam Bahasa Arab menyebut kepribadian dengan istilah Syakhsyiyyah, dari kata syakhsun, yang berarti orang/seorang/individu pula. Dalam terminologi Bahasa Indonesia, ada istilah lain yang cukup memberikan gambaran dari arti kepribadian, yaitu jati diri – yang berarti keadaan diri (se-diri/sendiri) yang sebenarnya (se-jati) atau hakiki.

Dalam konsep kepribadian manusia dalam pandangan psikologi (ilmu kejiwaan), pendiri aliran Psikoanalisa Sigmund Freud mengemukakan teorinya berkenaan dengan kepribadian manusia. Kepribadian menurutnya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Id, Ego, dan Superego. Ketiga komponen itu merupakan kesatuan proses psikologis yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya (fenomena psikis).

Jika dianalogikan secara umum, bahwa Id adalah komponen biologis (kebutuhan diri), Ego adalah komponen psikologis (afeksi, kognisi, psikomotorik), dan Super-Ego adalah komponen sosial (nilai-nilai sosial dan aturan-aturannya).

Id, Ego, Super-ego Id (Das Es)

Id dalam pandangan psikoanalisa satu term kata yang sangat dominan, karena segala perilaku manusia (individu) didasari pada motif untuk “memuaskannya”, juga prinsip kesenangan (pleasure principle) yang selalu berusaha meredam “ketegangan” dengan “kepuasan”. Adanya prinsip inilah kemudian manusia/individu cenderung memilih kesenangan/kenyamanan hidup daripada kesusahan/ketidakenakan. Misalnya, ada individu ingin kaya namun tidak mau bersusah-payah dengan bekerja atau belajar untuk mencapai hal tersebut, justru ia lebih memilih berjudi.

Id ada sejak sejak kelahiran manusia. Fungsinya untuk menghilangkan ketidakenakan/ ketidakamanan/ kesusahan yang merupakan sumber “ketegangan” itu dan

agar tercapai kenikmatan/kenyamanan maka Id memiliki dua macam respon, yaitu: 1. refleks dan reaksi otomatis, seperti misalnya bersin, berkedip dan sebagainya; 2) Proses primer, seperti misalnya individu yang berpuasa, dia lapar dan kehausan maka ia secara alam bawah sadar bahkan mungkin juga secara sadar membayangkan makanan-minuman, dalam proses berikutnya ia akan mendatangi pedagang makanan/minuman untuk menghilangkan dahaga maupun rasa laparnya.

Singkatnya, Id berada di wilayah primitif, sifatnya penuh kekacauan yang sulit dijangkau alam sadar, tidak sudi diubah dan diatur, amoral, tidak logis, dan penuh energi yang dilandasi dari motif atau dorongan-dorongan dasar serta dicurahkan/terlampiaskan semata-mata hanya untuk memuaskan “prinsip kesenangan”.

Dapat dipahami bahwa Id sebagai hasrat naluriah yang ada sejak manusia lahir dimana hasrat itu jika direalisasikan maka prinsip kesenangannya akan tersalurkan (ketegangan dari hasrat akan melemah bahkan hilang jika terealisasi). Contohnya saja saat individu mengantuk, ia akan memikirkan tidur pulas. Atau, misalnya bayi yang merasa lapar/haus ia akan menangis tanpa henti jika tuntutan Id-nya tidak/belum terpenuhi.

Akan tetapi, jika hasrat dari Id itu timbul tapi tidak ada yang merealisasikannya maka Id tidak akan menuju kepada “kepuasan”. Hasrat ini kemudian melalui defense mechanism (mekanisme pertahanan diri) ditekan dan terpendam mungkin bisa sampai bertahun-tahun yang jika ada peluang hasrat dari Id itu akan menuntut “dipuaskan”.

Oleh sebab itu, Id yang menjadi bagian “diri” membutuhkan komponen lain yang menjadi jembatan penghubung dengan dunia realitas untuk memuaskan prinsip kesenangannya. Komponen itu disebut dengan Ego.

Ego (Das Ich)

Ego adalah suatu sistem yang bereaksi dengan proses sekunder, yaitu merupakan proses “menimbang” melalui afeksi, kognisi, dan psikomotorik. Ego dikendalikan oleh prinsip realita (kenyataan) yang pada penerapan nantinya terhubung dengan orang lain (individu maupun kelompok) dan lingkungan sosialnya.

Adanya Ego untuk mempertimbangkan apakah dorongan hasrat dari Id akan direalisasikan atau bahkan mungkin diabaikan, atau bisa juga dikompromikan dengan hal lain. Jika misalnya Id direalisasikan atau dikompromikan, maka Ego bertindak sebagai perencana untuk mengeksekusi hal tersebut.

Ego merupakan komponen sistem yang menjadi penengah antara Id dan Super-Ego. Dengan kata lain, Ego memiliki kehendak kontrol segala perilaku yang dilakukan manusia. Hal ini karena Ego mampu untuk memikirkan (proses kognitif dengan melibatkan kecerdasan intelektual (IQ)), mampu merasa (proses afeksi dengan melibatkan kecerdasan emosional (EQ)), mampu memahami konsep spiritualitas diri maupun semesta (proses spiritual dengan melibatkan kecerdasan spiritual (SQ)), mampu bertindak (proses psikomotorik yang melibatkan gerak tubuh atau peran fisik), dan memiliki efikasi diri (self efficacy), yaitu keyakinan diri atau kepercayaan individu terhadap kemampuannya sendiri dalam melakukan suatu hal, menghasilkan sesuatu,

mengorganisasi, mencapai tujuan mereka, dan juga mengimplementasikan tindakan guna mewujudkan keahlian tertentu.

Kemampuan-kemampuan itulah yang membuat Ego berfungsi untuk meredakan “ketegangan” Id dengan cara melakukan aktivitas penyesuaian simptom-simptom dorongan yang ada selaras dengan kenyataan objektif (realitas). Ego memiliki kesadaran untuk menentukan dorongan yang baik maupun buruk hingga dorongan yang muncul tidak menimbulkan kegelisahan maupun konflik dalam diri.

Ego dapat pula dipandang sebagai aspek eksplisif kepribadian oleh karena Ego ini mampu mengontrol kebutuhan yang akan ditempuh, memilih kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi/dipuaskan dan memiliki metode/cara mewujudkannya, serta mengetahui objek yang dapat memenuhi kebutuhan yang timbul. Didalam menjalankan fungsi ini, sering kali Ego harus menyatukan dan mengkompromikan pertentangan antara dorongan Id dan nilai-nilai dari Super-Ego serta realitas yang ada. Namun, Ego tetaplah derivate dari Id (menyalurkan hasrat) dan bukan untuk merintanginya. Peran utamanya menjadi perantara mewujudkan/memuaskan kebutuhan-kebutuhan instinktif dengan keadaan lingkungan (realita) demi kepentingan keberlangsungan individu – bertahan hidup dalam konteks manusia sebagai organisme hidup.

Contohnya, seorang anak yang mau belajar hanya jika diberikan imbalan (reward) atau seseorang yang mau bekerja hanya jika diancam akan mendapatkan hukuman (punishment), maka mereka pun akan berpikir atau bertindak untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan supaya mereka mendapatkan hadiah kembali dan tidak mendapatkan hukuman.

Super-Ego

Dalam psikologi Freudian, Super-Ego mewakili aspek-aspek moral dan idealisme dari kepribadian. Pengendalinya adalah prinsip-prinsip moralitas, nilai/norma sosial, aturan-aturan, dan idealisme yang seringkali berlawanan dengan prinsip kesenangan dari Id dan prinsip realita dari Ego.

Sebenarnya, Super-Ego tidak punya kontak langsung dengan dunia luar (realitas) meskipun memiliki prinsip moralitas sosial yang ideal, tuntutan Super-Ego akan kesempurnaan hanyalah utopia semata.

Agar lebih mudah memahami Super-Ego, dipahami sebagai manifestasi internal berupa pengalaman-pengalaman dan persepsi dari nilai/moral dan harapan sosial sebagaimana yang telah diajarkan lingkungan keluarga, sekolah, dan negara kepada individu dengan cara memberi hadiah atau hukuman. Terlepas benar-tidaknya apa yang dianut/dipercaya individu, Super-Ego selalu menuntut terwujudnya kesempurnaan dari apa yang telah diajarkan/dialami/dipercayanya sekalipun terkadang (atau seringkali) kesempurnaan yang diinginkan itu tidak sejalan dengan keadaan realitas yang ada.

Super-Ego dipergunakan untuk mengadakan/melengkapi/menyempurnakan dan membudayakan suatu perilaku manusia agar eksis. Artinya, segala perilaku manusia itu hendak dibuat agar supaya sesuai nilai/norma, adat/budaya, aturan yang berlaku di masyarakat.

Super-Ego selalu membuat penilaian dan memberikan pilihan benar-salah, baik-buruk, moral-amoral, beradab-biadab, layak maupun sebaliknya, dan pertimbangan berkebalikan lainnya. Pilihan yang ada merupakan solusi instan bagi Ego dalam memberikan keputusan atas tuntutan id.

Fungsi pokok Super-Ego dapat dijabarkan, yaitu: Menghalangi impuls-impuls Id terutama yang dianggap berkonotasi buruk; Mendorong Ego untuk memutuskan pilihan sesuai dengan nilai/moral/aturan sosial; Menciptakan/memujudkan kesempurnaan sesuai idealisme personal.

Sepenggal kisah dalam Al-Quran yang menggambarkan adanya Id, Ego dan

Super-Ego

Ada banyak ayat yang menggambarkan keterkaitan Id, Ego, dan Super-Ego dalam peristiwa-peristiwa yang termaktub dalam Al-Qur’an baik itu secara individual maupun kelompok/komunitas. Namun, penulis disini hanya memberikan beberapa saja agar tidak memperlebar penjabarannya.

Dalam Al-Qur’an Surah Yusuf : 23, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الظَّالِمُونَ

Dan perempuan yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya menggoda dirinya. Dan dia menutup pintu-pintu, lalu berkata, “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah, sungguh, tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang yang zalim itu tidak akan beruntung.”

Dalam kisah Nabi Yusuf AS dalam ayat tersebut (dan ayat lainnya) diceritakan bahwa perempuan itu bermaksud ingin menguasai/menaklukkan Nabi Yusuf AS. Keinginan perempuan itu jika ditinjau dari teori Freudian merupakan perwujudan Id yang amoral dan liar/tak terkendali. Kemudian, diketahui bahwa perempuan ini memiliki “kuasa” atas lingkungan tempat kejadian karena ia adalah nyonya dari pemilik rumah yang juga merupakan tuan dari pemuda rupawan yang dikenal bernama Yusuf. Kuasa yang dimaksud adalah ia secara sadar menutup pintu-pintu dan bahkan menyuruh Yusuf untuk mendekat padanya, tindakan-tindakannya ini adalah hasil dari keputusan Ego agar dapat menyalurkan hasrat/dorongan Id. Lalu, komponen Super-Ego dari perempuan itu dijelaskan pada ayat lain yang masih di surah yang sama tepatnya di ayat 27-32, nilai/norma/aturan yang berlaku pada situasi kejadian itu secara eksplisit digambarkan bahwa terdapat strata sosial yang jelas dalam sistem kemasyarakatan di negeri itu, yaitu tuan dan budak; Serta antar strata sosial tidak diperbolehkan menjalin hubungan terlebih hubungan itu tanpa dilandasi suatu

ikatan. Kaitannya dengan Super-Ego, perempuan dalam kisah ini mengharapkan kesempurnaan yang “seharusnya” dimiliki oleh kaum strata sosial tertinggi, yaitu dengan memperlakukan budak (strata di bawahnya) sekehendaknya.

Karena kejadian ini melibatkan dua manusia, selain perempuan perayu yang sudah ditelaah, lantas bagaimana dengan fenomena psikologis yang dialami Yusuf AS ketika itu? Untuk melengkapinya, dapat kita simak Al-Qur’an Surah Yusuf : 24, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

“Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.”

Komponen Id Nabi Yusuf AS secara naluriah memiliki kehendak yang sama dengan perempuan yang merayunya, tetapi di ayat 22 diketahui bahwa beliau dianugerahi hikmah dan ilmu. Membuktikan komponen Ego mendayagunakan akal (aspek kognitif, kecerdasan intelektual) berkat adanya ilmu dan hikmah (aspek spiritual, kecerdasan spiritual).

Berikutnya, Super-Ego yang jelas sekali ditunjukkan Yusuf AS yaitu dengan beliau berucap “Aku berlindung pada Allah. … Sesungguhnya orang yang zalim itu tidak akan beruntung.” (bagian dari redaksi ayat 23), nilai/norma dan aturan dari Allah (melalui agama) dipegangnya dengan teguh yang memberikan pilihan baik dan benar pada Ego agar dapat membuat keputusan yang diridhoi Allah (“Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.”).

Terakhir dari tinjauan psikoanalisis, yang luar biasa saat Nabi Yusuf AS memilih efikasi diri (self efficacy) sebagai bentuk keputusan Ego alih-alih menuruti I’d maupun Super-Ego buruk (terpuaskan syahwat dan dipuja-puja karena rupawan). Manifestasi efikasi diri disebutkan dalam ayat 33:

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ

“Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku! Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika aku tidak Engkau hindarkan dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang yang bodoh.”

Baca Juga

PUASA RAMADHAN SEBAGAI MANIFESTASI KASIH SAYANG ALLAH SWT | DIROSAH VIRTUAL RAMADHAN 1444 H

Psikoanalisa Freudian dalam Agama Islam dan keterkaitannya dalam Pendidikan Islam

Nafsu

Menurut KBBI, nafsu berarti keinginan (kecenderungan, dorongan) hati yang kuat. Menurut Imam Syafi’i, nafs adalah lathifah rabbaniyah, yaitu roh sebelum bersatu (ta’alluq) dengan jasad. Nafs tersebut dibagi tujuh bagian, yaitu:

  1. An-Nafs Ammarah, yaitu nafs yang condong ke arah tabiat badaniyah dan menyeru kepada kenikmatan (al-ladzat) dan syahwat yang terlarang oleh syariat.
  2. An-Nafs al-Lawwamah, yaitu nafs yang mendapat cahaya dari qalb kemudian kadang-kadang mengikuti kekuatan akal dan terkadang menyimpang sehingga membuatnya menyesal. Ia adalah sumber penyesalan (manba’ an-nadamah) karena merupakan awal munculnya hawa nafsu. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Yusuf ayat 53
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

  • An-Nafs al-Muthmainnah, yaitu nafs yang mendapat cahaya dari qalb dan terbebas dari sifat-sifat yang hina.
  • An-Nafs al-Mulahhimah, yaitu nafs yang mendapatkan ilham berupa hikmah,ilmu, ketawadhu’an, qanaah, kemurahan (sakhawah), kebaikan-kebaikan lainnya. Ia adalah sumber kesabaran dan syukur.
  • An-Nafs ar-Radhiyah, yaitu nafs yang ridha kepada ketetapan Allah SWT dan tempatnya keselamatan.
  • An-Nafs al-Mardhiyah, yaitu nafs yang diridhai oleh Allah SWT dan tampak berupa karomah, ikhlas, kepasrahan, dan senantiasa berdzikir.
  • An-Nafs al-Kamilah, yaitu nafs yang telah sempurna secara tabiat (thab’an) dan perangai (syajiyyatan).

Pada hakikatnya, nafsu memiliki dua energi, yaitu: Ghadabiyah, merupakan kekuatan untuk mengarahkan bertahan hidup (survival); Al-Syahwat yang berarti daya untuk selalu ingin terpuaskan/terlampiaskan/terwujud.

Tujuan berpuasa khususnya di Bulan Ramadhan tidak lain adalah untuk mengontrol nafsu. Apabila manusia dikuasai oleh nafsu dengan melayani/menuruti semua dorongan yang muncul, maka perangai dan tabiatnya akan tumbuh menjadi manusia zalim, seperti yang disebutkan dalam Al-Quran

Surah Rum ayat 29:

بَلِ اتَّبَعَ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَهْوَاءَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَمَنْ يَهْدِي مَنْ أَضَلَّ اللَّهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti keinginannya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang dapat memberi petunjuk kepada orang yang telah disesatkan Allah. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi mereka.”

Maha Suci Allah dengan segala pengetahuan yang tak terbatas, ayat tersebut sekali lagi menempatkan ilmu pengetahuan (Ego) sebagai alat kontrol dari keinginan (Id). Dan, bagaimana Id yang tak terkendali akan menjadi benalu perusak bagi setiap kepribadian.

Akal

Akal dalam KBBI, diartikan daya fikir (untuk memahami sesuatu dan sebagainya), pikiran, ingatan. Akal manusia, menurut Imam Ghazali ada beragam dan dikelompokkan menjadi Akal Praktis (al-amilat) dan Akal Teoritis (al-alimat). Sedangkan berdasarkan tinggi jangkauannya, dibedakan menjadi Akal Material (al-aql hayulani), Akal Mungkin (al-aql

al-malakat), Akal Aktual (al-aql bi al-fiil), dan Akal Perolehan (al-aql al-mustafad) – diatas akal ini masih ada yang disebut dengan ilham tetapi dimensi pengertiannya berbeda meskipun tampak sama.

Kemampuan akal jika didasari pada objek yang dipikirkan, yaitu: Rasio Nafsani (dapat dijangkau indera) dan Rasio Qalbani (tidak dapat dijangkau indera tetapi dapat dibayangkan/diimajinasikan).

Rasio Nafsani ini dapat ditingkatkan dengan membaca berbagai literatur buku, berdiskusi, menulis dan membuat catatan-catatan dan kegiatan terkait lainnya yang tujuannya menambah daya berpikir dan pengayaan wawasan baik itu konsep teoritis maupun aplikatif. Contoh dari Rasio Nafsani misalnya ketika kita melihat suatu benda maka yang terpikir adalah bagaimana pemanfaatannya atau bagaimana penciptaannya dan lain sebagainya.

Rasio Qalbani merupakan daya pikir yang mampu melampaui indera bahkan dapat melewati dimensi waktu ke depan maupun ke belakang juga mampu menembus alam metafisika. Kekuatan ini tetap aktif meskipun manusia tertidur. Contohnya, ilmuwan muslim masa silam yang mampu mengetahui orbit bumi pada matahari hingga manusia hari ini mengetahui jumlah hari dalam setahun, atau sastrawan 1001 malam yang mampu menciptakan karya sastra jenaka syarat nasehat kehidupan yang masih relevan hingga saat ini, atau komponis tuna rungu yang mampu menciptakan musik hipnotism, atau seorang anak kecil yang tak pernah sekolah apalagi mengenal matematika selama masa kanak-kanaknya hingga remaja dihabiskan di kuil peribadatan yang dari sana ia kemudian menemukan bilangan tak terhingga (infinity) dan mampu menghitung massa blackhole serta menurut fisikawan modern

digadang-gadang dari temuan hitungannya itu yang dipadupadankan dengan sistem kode algoritma akan mampu menciptakan mesin teleportasi antar ruang-waktu. Itulah sekelumit contoh kecil kemampuan ajaib dari Rasio Qalbani.

Akal menurut Imam Ghazali haruslah dididik agar manusia dapat bertingkah laku yang baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Dengan akal yang terdidik, diharapkan manusia dapat semakin memperkuat iman dan taqwa kepada Allah SWT.

Dari uraian sepanjang tulisan pertama, yang harus dapat dilakukan manusia (individu) selama Ramadhan ini, yaitu memiliki kesadaran. Kesadaran bahwa diri ini lemah karena senantiasa menuruti dorongan hasrat Id; Diri ini lemah karena Ego diri ini tidak berani membuat keputusan juga tidak mampu menerima resiko akibat adanya keputusan; Diri ini

lemah karena Super-Ego hanya dapat memberikan pilihan-pilihan buruk sebagai hasil dari kemalasan kita untuk belajar menerima hal baru (terbarukan) dan belajar melihat dari perspektif lain bahkan dari sudut pandang yang paling dibenci sekalipun.

Untuk itu dan agar kesadaran melekat pada diri kita, kiranya Ramadhan dapat menjadi pintu rahmat semakin mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan menjalankan ibadah wajib secara ikhlas dan bersungguh-sungguh, memaknai Al-Qur’an mengambil setiap ilmu-Nya, serta menghidupkan sunnah Baginda Rasulullah. Bagi penulis, Ramadhan dengan segala aktivitas spiritual yang dimensinya vertikal-horizontal adalah penyelamat manusia dari kebodohannya sendiri. Dalam konteks sosial yang lebih besar dari pada diri manusia itu sendiri, Ramadhan akan meniadakan idiom “homo homini lupus“.

*) Waka. Humas MTs. MIftahul Ulum 2 Bakid

Share the Post:

Join Our Newsletter