Oleh : Hamzah Maulana Romadhon *)
Arti Cinta
Cinta sangat identik dengan perasaan kasih sayang, menyukai, dan sebagainya. Semua orang pastinya juga pernah merasakan cinta, mulai dari kecil, remaja, dan juga dewasa. Cinta tentunya ada pada masing-masing individu, namun cara mengungkapkan sebuah cinta juga akan berbeda-beda. Cinta tidak hanya membahas persoalan pasangan, namun di dalam sahabat dan keluarga juga terdapat cinta.
Setiap orang memiliki berbedaan pemahaman soal cinta. Hal ini tentunya akan membuat bingung pagi orang yang tidak mengetahui arti sebenarnya dari cinta. Jadi, apa itu cinta?
Bila dijabarkan secara umum, cinta ini tidak memiliki arti yang konkret. Cinta itu tidak bisa dilihat secara nyata, namun hanya bisa dirasakan pada setiap orang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cinta adalah suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat, ingin sekali, berharap sekali, rindu, khawatir, dan risau.
Cinta telah hadir sejak zaman Nabi Adam diciptakan dan dipertemukan dengan pasangan hidupnya, Siti Hawa. Tanpa keberadaan cinta, orang-orang akan merasa hampa. Lalu, apa arti cinta menurut Islam?
Dalam buku Bingkai Kasih Khazanah Jiwa karangan Kazuhana El Ratna Mida (2016: 13),arti cinta menurut Islam adalah limpahan kasih sayang Allah SWT kepada seluruh makhluknya. Sehingga, Allah menciptakan manusia dan isinya dengan segala kesempurnaan.
Cinta itu sebenarnya sebuah anugerah ataukah masalah?
Sebenarnya cinta adalah anugerah Allah SWT kepada seluruh manusia. Dengan adanya cinta, maka manusia akan saling menyayangi, menghargai, berbuat baik antarsesama termasuk dengan lingkungan sekitar sebagaimana dalam tuntunan Islam. Tanpa adanya cinta manusia tidak akan mempunyai sikap seperti itu.
“Cinta terhadap lawan jenis, cinta harta, cinta anak adalah naluri insaniyah yang Allah berikan sebagai nikmat, dan yang terpenting tidak mengalahkan cinta kepada Allah dan RasulNya, serta agama.
Ternyata dalam Alquran pun tertulis tentang jatuh cinta, yaitu dalam Surah Al Imran ayat 14. Allah SWT berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ
Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Al Imran:14).
Lebih lanjut, apalagi jika cinta itu dijalin oleh pasangan yang sudah menikah. Maka mereka akan mendapatkan pahala karena termasuk salah satu ibadah dalam membangun rumah tangga.
Allah SWT berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu,” (QS. An Nisa: 1).
Kalau masalah orang yang sampai bunuh diri karena cinta, itu sebenarnya orang orang yang hanya memiliki iman setipis kulit bawang, sebab cinta adalah anugerah bukan suatu masalah.
Mati membawa cinta itu mati syahid?
Ibnu Katsir pernah bercerita, suatu hari Abu Nuwas bersama Ahli hadits yang lain datang ke majelisnya Syekh Abdul Wahid bin Ziyad. Kemudian Syekh Abdul Wahid menyuruh para Ahli hadits untuk membacakan masing-masing 10 hadits yang sudah dbacakannya. Akhirnya para Ahli hadits itu memilih masing-masing 10 hadits, kecuali Abu Nuwas atau dikenal Abu Nawas. Kemudian Syekh bertanya kepada Abu Nuwas: “Mengapa kamu tidak memilih hadits seperti mereka?” Kemudian Abu Nawas melantunkan syairnya:
لَقَدْ كُنَّا رَوَيْنَا # عَنْ سَعِيْدٍ عَنْ قَتَادَةْ عَنْ سَعِيْدِ بْنِ المُسَيَّ # بِ ثُمَّ سَعدِ بْنِ عُبَادَةْ وَعَنِ الشَعَبيِّ وَالشَّعْ # بِي شَيْخٌ ذُو جَلَادَةْ وَعَنِ الأَخْبَارِ نُحْكِي# هِ وَعَنْ أَهْلِ الإِفَادَة أَنَّ مَنْ مَاتَ مُحِبَّا # فَلَهُ أَجْرُ شَهَادَةْ
Selesai melantunkan syair ini, kemudian Syekh berkata: “Kamu berdiri dan keluar dari dari hadapanku wahai orang cabul. Aku tidak bicara kepadamu, juga tidak seorang pun yang ada di sini mengharapkan kehadiranmu,”. Kisah di atas sampai kepada Imam Malik bin Anak dan kepada Ibrahim bin Yahya, lalu mereka berdua berkomentar: “Seharusnya Abdul Wahid bicara dengan Abu Nuwas dengan memberikan pengertian kepadanya, jangan langsung di-judge, dan jika benar Abu Nawas salah, mudah-mudahan Allah meluruskannya.”
Menurut Ibnu Katsir, hadits Nabi yang dibuatkan syair oleh Abu Nawas ini benar adanya, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ady dalam Al-Kamil-nya, sebuah hadits dari Ibnu Abbas dengan status mauquf marfu’:
مَنْ عَشَقَ فَعَفَ فَكَتَمَ فَمَاتَ مَاتَ شَهِيْدًا
“Barangsiapa yang jatuh cinta lalu ia menahannya dan menyembunyikan rasa cinta nya sampai ia mati, maka ia mati dalam keadaan mati syahid.”
Makna hadits ini menurut Ibnu Katsir, seseorang yang jatuh cinta, tapi dia tidak bisa memilihnya dan tidak mampu memilikinya, lalu ia bersabar dan menahan dari perbuatan tercela, kemudian meninggal karena sebab tidak sanggup menahan rasa cintanya, maka dia akan mendapatkan pahala yang banyak. Jika hadits ini sahih maka yang meninggal karena itu akan mendapatkan pahala mati syahid.
Dalam Faidhul Qodir, bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah . Adapun mengenai status hadits ini, para ulama berbeda pendapat, karena yang meriwayatkan hadits ini ada yang namanya Suwaid bin Sa’id maka Imam Ahmad menyatakan hadits ini sebagai hadits matruk. Ibnu Qoyim juga menyatakan hadits ini adalah maudhu, sehingga tidak boleh menyandarkan ungkapan ini kepada Nabi Muhammad Shallalahu alaihi wasallam. Namun Az-Zarkasyi menguatkan status hadits ini dan menyatakan bahwa yang meriwayatkan hadits ini bukan hanya Suwaid, yang mana Suwaid diinkari oleh Ibnu Muin dan ulama yang lainnya. Menurut Az-Zarkasyi, hadits ini juga diriwayatkan oleh Zubair bin Bikar yang beliau terima dari Abdul Malik bin Abdul Aziz Al-Jamisyun dari Abdul Aziz bin Abi Hazim dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW. Maka dari itu, sanad hadits ini dinyatakan sahih, begitu pula Ibnu Hazm menyatakan para perawi hadits ini semuanya terpercaya. Untuk lebih jelas silahkan dilihat kitab Faidhul Qodir syarah Jamius Shogir karya Imam Muhammad Abdul Rauf Al-Munawi. Lalu apa makna hadits ini? Al-Munawi menerangkan jika ada orang yang mencintai orang lain dan berharap untuk menikahinya, tetapi dia tidak kuasa, lalu dia menahannya sampai mati. Maka dia akan mendapatkan pahala syahid akhirat.
Mencintai selain Allah
Ketertarikan lelaki kepada wanita itu sudah tercipta dan terbentuk semenjak manusia itu masih berada di Surga. Saat itu, Allah SWT menempatkan abul basyar, Adam ‘alaihissalâm di Surga. Dia sendirian. Dia berjalan ke sana kemari tanpa ada yang menemani. Akhirnya dia tertidur. Pada saat dia tidur, Allah SWT menciptakan Hawa dari tulung rusuk pendek Adam sebelah kiri. Ketika terbangun dari tidurnya, dia melihat di sampingnya ada seorang wanita. Dia tertarik (dan hendak menyentuhnya). Kemudian Malaikat menegurnya: “Wahai Adam, tidak boleh (engkau menyentuhnya), sebelum engkau menyerahkan maharnya terlebih dahulu.” Adam ‘alaihissalâm bertanya: “Apa maharnya?” Malaikat menjawab: “(Maharnya adalah) membaca shalawat kepada Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam sebanyak tiga atau dua puluh kali.” Allah Swt berfirman
: زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآب
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaannya kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S. al Imran: 14).
Dalam kehidupan di dunia ini, manusia dihiasi dengan beraneka macam perhiasan, kenikmatan dan segala hal yang diingini, disenangi, dan dicintai. Namun yang pertama kali disebutkan oleh Allah subhanahu wata‘âlâ berkaitan dengan perhiasan ini adalah “wanita”, hal ini dikarenakan fitnah (ujian, red) yang ditimbulkannya lebih berat dan dahsyat dibandingkan yang lainnya. Baginda Rasul Saw bersabda:
«مَا تَرَكْتُ فِتْنَةً عَلَى أُمَّتِي أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ» [مسند ابن أبي شيبة، ج1 ص120
“Tidak aku tinggalkan atas umatku suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi lelaki selain wanita.”
Meskipun demikian, jika seorang lelaki menikahi wanita dengan tujuan agar dirinya terhindar dari perbuatan zina dan bermaksud untuk mempunyai banyak keturunan, maka hal yang demikian ini adalah dianjurkan, disunnatkan bahkan bisa jadi wajib hukumnya, sebagaimana banyak hadits yang menunjukkan, menjelaskan, dan menganjurkan hal tersebut. Abdullah Ibnu Mas’ud Ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda kepada kami:
[شَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ»[رواه البخاري في صحيحه: ج7 ص3، ومسلم في صحيحه: ج2 ص1082
“Wahai anak-anak muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu berkeluarga hendaknya dia nikah, karena nikah itu dapat menundukkan (memejamkan) mata dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu nikah, hendaknya dia berpuasa, sebab puasa itu dapat mengendalikannya.”
Anas Ibnu Malik RA berkata: Rasulullah memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda:
[تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ [رواه البيهقي في "السنن الكبرى"، ج7 ص131
“Nikahilah perempuan yang penyanyang dan subur, sebab aku akan berbangga dengan jumlah kalian yang banyak, di hadapan para Nabi besuk pada hari kiamat.”
Allah SWT menetapkan dan memberlakukan Syariat Islam itu pasti sejalan dengan fithrah manusia. Manusia mempunyai fithrah mencintai dan dicintai oleh lawan jenisnya. Untuk menyalurkannya, Allah SWT mensyariatkan pernikahan. Dengan cinta kasih, pernikahan menjadi lebih indah, tenteram dan memberikan rasa tenang bagi keduanya. Apalagi cinta yang mendalam merupakan salah satu kekuatan yang bisa melanggengkan hubungan (mu’asyarah) antara seorang lelaki dengan wanita dalam mengarungi kehidupannya berumah tangga.
Seorang mukmin, baik lelaki maupun wanita, sesempurna dan setinggi apa pun ke imanannya, setinggi apa pun tingkat keshalehannya, dia tetaplah manusia biasa. Sifat-sifat kemanusiaanya tetap melekat kepadanya. Dia bisa memiliki cinta kasih yang mendalam dan tulus. Dia bisa memiliki rasa rindu yang sangat akan hadirnya seorang pendamping hidup yang dicintai dan mencintainya sepenuh hati. Dia bisa mempunyai keinginan untuk mendapatkan pendamping yang saling memahami dan mengerti kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena itu, seorang lelaki shalih dan wanita shalihah tidak akan sembarangan dalam memilih pendamping hidupnya, meski mengatasnamakan “cinta” yang fithri. Sebab di atas “cinta” yang fitri, masih ada cinta yang lebih tinggi dan agung yang patut dijadikan pertimbangan utama, yaitu cinta kepada Allah SWT, Rasul-Nya dan berjuang di jalan-Nya.
Cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya akan mendorong seseorang untuk menyandarkan segala pilihan calon pendampingnya diatas ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Termasuk dalam hal ini adalah pilihan untuk menentukan lelaki atau wanita yang mana, yang bagaimana dan yang seperti apa yang akan dijadikan pendamping hidupnya. Semuanya akan dia sandarkan kepada ketentuan-ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Tidak cukup dengan hanya didasarkan pada, atau bermodal “cinta” yang sifatnya fitri. “Cinta” itu bisa datang dan pergi, kepada siapa saja, dari siapa saja, kapan saja dan di mana saja, karena memang “cinta” itu adalah milik Allah SWT. Karenanya, baginda Rasulullah SAW berdoa:
«اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِيْ فِيْمَا أَمْلِكُ، فَلاَ تُؤَاخِذْنِيْ فِيْمَا لاَ أَمْلِكُ»
“Ya Allah, inilah qasmi (menggilirku) dalam hal-hal yang aku miliki, maka jangan Engkau siksa aku dalam hal-hal yang tidak aku miliki.”
Dalam riwayat yang lain:
اللَّهُمَّ هَذِه قِسْمَتي فِيمَا أمِلكُ، فَلَا تَلُمْنِيْ فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ
“Ya Allah, inilah qismah-ku (menggilirku) dalam hal-hal yang aku miliki, maka jangan Engkau cela aku dalam hal-hal yang Engkau miliki dan (hal-hal yang) tidak aku miliki.”
Yang dimaksud dengan “Dalam hal-hal yang tidak aku miliki” adalah “cinta dan kecenderungan yang lebih kepada salah satu istri-istri Rasulullah SAW”, demikian kata Imam as Suyuthi.
*) Pembina Eskul Khithabah MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid