Konflik Pelik Ulama Nahwu Masa Daulah Abbasiyah

Oleh : Muhammad Faisol Ali, S.H. *)

Panggung drama besar politik Islam pada babak ketiga ditandai dengan berdirinya Daulah Abbasiyah. Daulah Abbasiyah benar-benar lahir untuk menjadikan era baru wajah Islam memukau di mata dunia. Daulah Abbasiyah sukses melahirkan tokoh-tokoh besar, para ilmuan yang keren di dunia Islam. Berbagai prestasi mampu dicapai oleh setiap khalifah dari generasi ke generasi. Pencapaian prestasinya mampu mengubah peradaban dunia Islam. Salah satu prestasi yang dicapainya adalah kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan.

Salah satu ilmu yang maju dan menjadi gengsi kala itu adalah ilmu linguistik atau ilmu bahasa. Tokoh ulama yang tersohor dan kondang kala itu adalah Amr bin Utsman atau yang terkenal di kalangan santri dengan nama Imam Sibawaihi, sebuah nama yang berasal dari Persia yang bermakna aroma apel. Selain mendapatkan julukan Imam Sibawaihi, beliau juga memiliki julukan Abu Bisyr.

Imam Sibawaihi lahir pada tahun 765 M di Kota Syiraz, Persia (sekarang Iran) dan wafat di usia yang sangat muda, yaitu di usia 32 tahun di kota yang sama pada tahun 796 M.

Bagi kalangan pesantren di Indonesia, nama Sibawaihi cukup terkenal sebagai ulama nahwu, sebuah fan yang ada dalam kaidah bahasa Arab. Fan ini juga dikenal oleh kalangan santri sebagai ilmu yang sulit, ruwet, dan parahnya dijauhi. Tapi, bagi Imam Sibawaihi ilmu ini adalah sebuah keindahan dan baginya ilmu ini sangat mudah.

Bagi kalangan pakar tata bahasa Arab seperti al-jahid, Ibnu Katsir, Abu Ishaq dan para imam-imam lainnya, beliau dikenal sebagai Imam Nahwu, hujjah Arab. Karyanya sampai sekarang masih relevan dan belum ada yang menandinginya.

Sikapnya yang lemah lembut, rendah hati, cerdas, dan ganteng menjadi daya tarik sendiri bagi orang lain. Bahkan beliau menjadi singa podium bila berdebat tentang ilmu nahwu, lawannya dibuat mati kutu, semua orang terkagum-kagum dan semuanya tidak mampu mendebatnya kembali. Karya tulis ilmiahnya lebih mengagumkan lagi daripada bicaranya saat berdebat, beliau agak gagap (hubsah) tetapi ia paling presentatif bila menyampaikan ilmu dari gurunya, Khalil al-Farahidi, kata Muawiya bin Bakar.

Adanya peristiwa Zumbur (sebuah persitiwa perdebatan yang membuatnya merasa ditipu di depan umum) dan laju politik negara pada masa Daulah Abbasiyah yang tidak lagi mendukungnya, membuat Imam Sibawaihi pergi dari Basrah (sekarang Irak), tempat dimana namanya naik daun. Bahkan kemasyhurannya mampu mengalahkan kepopuleran gurunya, Khalil al-Farahidi. Peristiwa pahit yang dialaminya, adalah kecamuk antara kebenaran dan dukungan politik. Kebenaran ilmu yang tidak didukung oleh politik pada waktu itu, membuatnya getir.

Cerita selengkapnya begini, pada masa khalifah Abbasiyah di negara Irak terdapat tiga daerah penting; Basrah, Kufah, dan Baghdad. Kota Basrah dikenal dengan kota ilmu nahwu yang diasuh langsung oleh Imam Sibawaihi. Sementara Kufah, adalah kota yang juga dikenal dengan kota pengembangan ilmu tata bahasa di bawah asuhan Imam Kisa’i. Sedangkan kota Baghdad dikenal dengan pusat pemerintahan atau politik khalifah Abbasiyah.

Basrah dan Kufah adalah dua kota yang dikenal dengan ilmu nahwu. Imam Sibawaihi dan Imam Kisa’i adalah dua tokoh ulama besar yang sama-sama dikagumi. Bahkan kepopuleran mereka berdua terdengar hingga ke berbagai propinsi di bawah pemerintahan khalifah Abbasiyah.

Peristiwa Zumbur bukan sebuah peristiwa perang atau perebutan wilayah kekuasaan. Akan tetapi sebuah peristiwa perdebatan pelik yang melibatkan dua kota tersebut. Perdebatan itu diselenggarakan di Propinsi Baramiqah dan difasilitasi langsung oleh gubernur Yahya bin Khalid. Pemberitaan perdebatan antara kedua tokoh ilmu nahwu ini terdengar ke semua penjuru wilayah kota dan pelosok desa sehingga semua masyarakat berbondong-bondong ingin menyaksikan perdebatan mereka dan mendukung keduanya sesuai dengan daerahnya masing-masing. Dari Kufah bukan hanya dihadiri oleh Imam Kisa’i sendiri, tapi bersamanya hadir pula beberapa orang Arab dan sengaja dibawa oleh blok Kufah. Sebelum perdebatan berlangsung sengit, Imam Kisa’i bertanya pada Imam Sibawaihi; “Anda yang bertanya pada saya, atau saya yang bertanya lebih dulu pada Anda?” Imam Sibawaihi menjawab: “Anda saja yang bertanya lebih dulu pada saya!”

Kemudian Imam Kisa’i bertanya pada Imam Sibawaihi; “bagaimana Anda menanggapi kalimat berikut?

قد كنتُ أظن أن العقرب أشد لسعة من الزُنْبُور فإذا هو هي, أو فإذا هو إياها بعينها؟

Dan Imam Kisa’i bertanya kali keduanya yang tidak jauh berbeda. Pertanyaannya sebagai berikut: 

خرجت فإذا عبد الله القائمُ أو القائمَ ؟

Bagaimana menurut pendapat Anda, kalimat di atas dibaca rafa’ atau nasab? Imam Sibawaihi menjawab semua yang dimaksud hanya bisa dibaca rafa’, sedangkan Imam Kisa’i berbeda pendapat dan mengatakan lafadz yang dimaksud bisa dibaca nasab. Imam Sibawaihi membantah argumen Imam Kisa’i dan keduanya sama-sama kuat mempertahakan argumennya masing-masing. Perdebatan semakin sengit dan tak kunjung menemukan titik terang hingga akhirnya gubernur Yahya bin Khalid turun tangan yang berkata: “Kalian berdua berbeda pendapat, dan kalian berdua adalah para imam besar di kota kalian, lantas siapa yang menjadi hakim?”

Imam Kisa’i tidak kehabisan ide untuk menjatuhkan Imam Sibawaihi di depan umum. Imam Kisa’i sudah mengkonsepnya jauh-jauh hari sebelum perhelatan perdebatan ini berlangsung hingga akhirnya Imam Kisa’i mengusulkan orang Arab (Badui) menjadi hakim atas mereka berdua. Gubernur pun setuju atas usulan Imam Kisa’i. Diperintahlah beberapa orang Arab yang sengaja dihadirkan oleh Imam Kisa’i pada acara tersebut dan mereka berpendapat bahwa bacaan yang benar adalah pendapat Imam Kisa’i. Skenario Imam Kisa’i berjalan dengan apik dan terstuktur. Imam Sibawaihi meradang mendengar pendapat orang Arab dan keputusan pada forum tersebut dimenangkan oleh Imam Kisa’i.

Imam Sibawaihi pulang dengan kekecewaan yang besar. Peristiwa tersebut tidak dibayangkan sebelumnya. Imam Sibawaihi kian hari menjadi buah bibir penduduk dua kota tersebut. Kekalahannya terus menyesaki ruang pikirannya. Dalam benaknya kongkalikong antara Imam Kisa’i dan orang Arab tidaklah dibenarkan. Bahkan kejahatan seperti ini akan terus meluas dan menodai tempat suci ilmu pengetahuan dan ulama. Kegundahannya membuat beliau mengambil sikap untuk angkat kaki dari kota Basrah menuju kota dimana kedengkian dan kejahatan tidak merajarela. Akhirnya beliau memutuskan pergi ke Khurasan.

Perjalanan Imam Sibawaihi seakan berjalan menuju akhir dari perjalanan hidupnya, dimana setiap hari bergelut dengan ilmu nahwu. Di tengah perjalanan menuju Khurasan, beliau jatuh sakit hingga membuatnya menghadap Sang Khaliq di usianya yang relatif muda, 32 tahun.

*) Guru SKI MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid

Leave a Reply