Oleh: M. Hasyim As’ari, S.H *)
Upacara Proklamasi Kemerdekaan yang diadakan secara sederhana pada 17 Agustus 1945 di halaman belakang rumah Soekarno menandai dimulainya zaman baru Indonesia merdeka. Akan tetapi, luas wilayah Indonesia begitu luas dan media komunikasi belumlah sebegitu mudahnya seperti saat ini yang bahkan tinggal menggerakkan jari saja mampu menyebar bagaikan debu di jalanan yang belum teraspal.
Penyebaran kabar kemerdekaan itu menurut banyak sumber sejarah memang dilakukan oleh kantor berita Domei (cikal bakal Radio Republik Indonesia) dan surat kabar pergerakan kerakyatan, tetapi jangkauannya masih terbatas karena frekuensi gelombang radio masih dikuasai Jepang. Terlebih penduduk Indonesia kala itu hanya sedikit yang punya radio terutama dari kalangan ningrat, juga tak semua masyarakat dengan mudah mendapatkan surat kabar dan membaca pun mengalami kesulitan. Saluran Televisi, di Tahun 1945 belumlah lahir karena siaran pertamanya baru muncul pada Tahun 1962 dengan stasiun yang dikelola pemerintah.
Kabar kemerdekaan melalui radio mulanya dilakukan oleh Adam Malik dengan menelepon Asa Bafagih dan mendiktekan bunyi teks proklamasi. Adam Malik lantas meminta berita itu diteruskan kepada Pangulu Lubis untuk disiarkan. Pangulu Lubis pun menyelipkan berita proklamasi di antara berita-berita yang telah disetujui Hodohan (biro sensor Jepang), kemudian disiarkan melalui morce cast oleh Markonis Wuz dengan diawasi Markonis Soegiarin. Berita itu sampai ke San Fransisco (Amerika Serikat) dan Melbourne (Australia). Tentu saja membuat geger pembesar Jepang di wilayah Asia Tenggara yang saat itu sedang berusaha mempertahankan status quo.
Akibatnya, halaman depan kantor berita dijaga ketat tentara Jepang. Namun, seorang pegawai berhasil masuk kantor itu melalui halaman belakang yang dibatasi pagar seadanya, dan memberikan secarik kertas dari Adam Malik kepada penyiar Jusuf Ronodipuro yang sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, pemuda bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di Radio Domei – di zaman digital ini bisa saja dia disebut sebagai netizen) ini ternyata membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio lainnya, di antaranya: Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan.
Tokoh lainnya, Waidan Palenewen yang diancam tentara Jepang tetap meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan berita proklamasi kemerdekaan yang diulangi setiap setengah jam hingga pukul 16.00 saat siaran berhenti. Lampiran berita yang diselundupkan itu tak lain naskah proklamasi yang pada Pukul 19.00 Jusuf Ronodipuro membacakannya sekali lagi di studio siaran khusus untuk luar negeri.
Berita Proklamasi Indonesia kian mengudara menjadi buah bibir para pejuang dan masyarakat dalam maupun luar negeri. Di Surabaya, berita kemerdekaan dari kantor berita Domei Jakarta diterima Markonis Jacub dan diberikan kepada Raden Mas Bintarti dan wartawan Soetomo (Bung Tomo). Kabar juga diteruskan kepada surat kabar Soeara Asia.
Soeara Asia selain membuat headline di surat kabarnya, juga membuat selebaran pamflet-pamflet dan pejuang-pejuang lainnya membantu mengamankan kantor surat kabar ini beserta isinya agar tidak dikuasai tentara pendudukan Jepang. Pewarta Domei Surabaya yang menguasai peralatan untuk memantau perkembangan situasi di Jakarta, serta menyiarkan buletin Siaran Kilat agar masyarakat lainnya pun dapat mengetahui perkembangan terkini, tanpa mencantumkan lagi nama Domei sebagai bentuk nasionalisme.
Sikap Domei cabang Surabaya itu merupakan cabang pertama yang melepaskan diri dari Domei pusat di Jakarta yang kini disegel Jepang. Di Semarang, berita proklamasi dari Domei Jakarta diteruskan kepada penguasa tertinggi Indonesia di sana, Mr Wongsonegoro, yang saat itu menjabat Fuku Shucokan (Wakil Residen Semarang). Berita itu dibacakan Wongsonegoro dalam sidang pleno dan mendapat tanggapan meriah, lalu penyebarannya menggunakan mural yang dicoret di dinding tembok bangunan yang dikuasai Jepang dan di gerbong-gerbong kereta.
Di Bandung, berita proklamasi sampai melalui sandi morse. Namun, wartawan dan markonis Domei Bandung yang nasionalis ditahan tentara Jepang saat akan menyebarkannya. Meskipun demikian, kabar adanya kemerdekaan tetap sampai ke meja redaksi surat kabar dan radio Jepang Bandung, Hoso Kyoku, Harian Tjahaja, dan Soeara Merdeka melalui jalur selundupan para pejuang yang tak gentar. Kisah serupa juga mewarnai tersiarnya kabar kemerdekaan di kota-kota besar lainnya di seluruh wilayah Indonesia.
Hampir seluruh harian di Jawa dalam penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi kemerdekaan dan isi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Beberapa tokoh pemuda yang tercatat berjuang melalui media pers antara lain Adam Malik, Sutan Syahrir, B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang.
Kabar kemerdekaan juga disebarkan secara langsung oleh para utusan daerah yang menghadiri sidang PPKI, yang diantaranya: Teuku Mohammad Hassan dari Aceh, Sam Ratulangi dari Sulawesi, Ketut Pudja dari Sunda Kecil (Bali), dan A. A Hamidan dari Kalimantan.
Selain mereka, usaha dan perjuangan para pemuda dalam penyebarluasan berita proklamasi juga dilakukan melalui para perantau yang kala itu berada di Jakarta. Perantau ini dibawa oleh Jepang ke Jakarta (atau sedang berlabuh di Jakarta untuk kemudian didistribusikan ke daerah lain) dalam rangka kerja paksa (romusha) tetapi ada pula diantara mereka merupakan para pelajar.
Para pelajar dan perantau itu kemudian direkrut sebagai sukarelawan untuk menyebarkan berita khusus ke pulau-pulau di luar Jawa. Mereka inilah pembawa kabar kemerdekaan Indonesia yang menempuh jalan sunyi, mereka tak pernah sekalipun tercatat dalam sejarah perjuangan merebut Kemerdekaan Indonesia.
Kisahnya, dua bulan setelah proklamasi, berita kemerdekaan Indonesia belum efektif tersebar luas ke pelosok negeri. Mendapati hal itu, Komisaris Jenderal Polisi Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang menjabat Kepala Kepolisian Negara di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri ditugasi mencari sukarelawan yang berasal dari kalangan pemuda yang akan dikirim ke pelosok Indonesia sebagai pembawa kabar kemerdekaan.
Pemerintah beralasan, orang-orang yang tinggal di pelosok dusun, di pedalaman hutan, di kaki gunung, dan di seberang lautan banyak belum mengetahui Indonesia kini telah merdeka. Sejumlah pemuda yang direkrut menjadi kurir berita kemerdekaan seperti Gatot Iskandar yang merupakan anggota Perindo (Pemuda Republik Indonesia) kala itu yang ditemani Umar sahabatnya yang juga berasal dari Kediri keduanya masih berumur 15 tahun – mereka masihlah duduk di bangku SMP/MTs jika di zaman ini bersekolah.
Selain kedua pemuda itu, pemerintah juga merekrut Suroso dari Angkatan Muda Kereta Api. Pemuda bernama Bonggar perwakilan pemuda dari Yogyakarta, Cik Somad asal Palembang, Syamsudin asal Bengkulu, Anwar dan kakak-beradik Azwar serta Rivai dari Minangkabau, dan Hamid yang asli berasal dari Tapanuli.
Sebelum berangkat, para pemuda itu dibagi kelompok yang disebar ke Sumatra. Daerah Lampung jatah Umar dan Cik Somad. Bengkulu diserahkan kepada Syamsudin serta Supardi. Kakak beradik Azwar dan Rivai disertai Anwar mendapatkan tugas ke wilayah Sumatra Barat. Tapanuli ditugaskan kepada Hamid dan Gatot yang rela berpisah dengan Umar sahabatnya. Sedangkan Suroso dan Bonggar mendapat tugas mendatangi wilayah Sumatra Utara.
Ada pula rombongan-rombongan pembawa berita proklamasi lainnya, seperti rombongan berkode sandi layaknya agen spionase Moh Nur 1001, yang berangkat dari Pekalongan menuju Sampit, Kalimantan. Rombongan utusan dari Jakarta pimpinan Rahadi Usman bertolak pada 23 November 1945. Kemudian rombongan berkode sandi BPRI Pelopor 9 yang dipimpin oleh Achmad Hasan, bertolak dari Panarukan, Jawa Tengah pada 18 November 1945. Lainnya lagi, menuju Sumatra, Aceh, dan Maluku.
Dapat dibayangkan betapa sulitnya perjalanan yang ditempuh para utusan pembawa kabar kemerdekaan ini menuju daerah-daerah pelosok luar Jawa. Menyeberang laut, menerobos hutan, menyusur sungai, atau kalau naik kendaraan, tentu hanya bis atau truk yang sudah rongsokan. Pada masa itu, angkutan untuk bepergian sangatlah sulit. Kendaraan umum seperti bus, kereta api, kapal laut, bisa dianggap langka. Kalaupun ada, umumnya tanpa jadwal yang pasti dan sudah barang tentu sebagian besar masih dikuasai tentara pendudukan Jepang. Apalagi di daerah luar Jawa yang kondisi medan atau keadaan rute perjalanan yang berbeda dari lanskap yang diketahui hari ini.
Kisah pilu juga harus dialami para kurir kemerdekaan ini, mulai dari kehabisan ongkos, kelaparan sehingga terpaksa menumpang makan di rumah-rumah penduduk yang dilewatinya, menginap di langgar-langgar maupun di tempat peribadatan yang ada di perkampungan. Tak jarang, jika malam sudah larut sedang mereka di jalan yang jauh dari pemukiman penduduk, mereka harus tidur seadanya di alam terbuka dipangku ibu pertiwi dan dinaungi bapak angkasa serta dininabobokan suara alam permai khatulistiwa. Tak terbayangkan jalan sunyi menempuh capaian yang amat melelahkan.
Namun, para pembawa kabar kemerdekaan yang umumnya berusia belia itu tak mau menyerah melewati aral rintangan. Menjalankan misi tersebut menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka. Sayangnya, kisah kepahlawanan mereka tak terungkap dalam panggung sejarah di setiap kemerdekaan dirayakan. Mereka ini pejuang di jalan sunyi yang jauh dari pemberitaan dan tanda jasa. Terlupakan dalam euforia peringatan kemerdekaan. Padahal, tanpa jejak langkah dan kabar yang mereka bawa, setiap Tanggal 17 Agustus boleh jadi tak megah dan meriah dengan dukungan persatuan semua wilayah yang telah berikrar sumpah setia membentuk Negara Indonesia.
Dirgahayu Republik Indonesia Ke-78, Terus Melaju Untuk Indonesia Maju
*) Wakil Kepala TU MTs Miftahul Ulum 2 Bakid