Oleh : Muhammad Faisol Ali *)
77 tahun Indonesia merdeka setelah memukul mundur kolonial Belanda hingga Jepang di pangkuan ibu pertiwi kita. Bangsa besar ini seyogyanya berbangga dengan kemerdekaan ini. Mungkin saja, andai semangat juang para pahlawan tidak berapi-api dalam melawan serangan dari para penjajah yang bertubi-tubi, kita tidak berada di posisi seperti saat ini. Andai saja bangsa besar ini bercerai-berai tidak bersatu padu dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, kita tidak akan ada peringatan upacara 17 Agustus sejak tahun 1945 yang lalu.
Bicara upacara 17 Agustus setiap setahun sekali atau setiap hari Senin di sekolah, tentunya kegiatan upacara bendera merah putih sudah menjadi progam wajib bagi setiap sekolah atau madrasah. Dalam setiap upacara tentunya yang tidak boleh ditinggalkan adalah hormat bendera merah putih, bendera kebanggan seluruh warga Indonesia.
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, mungkin hanya sebagian kecilnya saja yang mengetahui sosok pencetus di balik diperbolehkannya hormat bendera merah putih menurut syariat Islam atau buruknya generasi milenial saat ini tidak mengetahui sama sekali siapa sosok dibalik diperbolehkannya hormat bendera merah putih.

Dikisahkan bahwa KH. Wahab Hasbullah memiliki adik kandung yang bernama KH. Abdul Hamid bin KH. Hasbullah. Meski popularitasnya KH. Abdul Hamid Hasbullah ini tidak setenar kakandanya KH. Wahab Hasbullah namun beliau memiliki kelebihan. Beliau, KH. Abdul Hamid Hasbullah adalah seorang alim, faqih, dan kedalam ilmunya tidak diragukan lagi. Bahkan, seringkali KH. Wahab Hasbullah bertanya ta’bir (refrensi) berbagai masalah waqi’iyyah (kekinian) kepada adiknya, KH. Abdul Hamid Hasbullah. Saking alimnya beliau dalam ilmu fiqh, beliau dapat gelar sebagai macannya bahtsul masaail yang kaya akan refrensi atau rujukan seputar tentang masalah waqi’iyyah.
Suatau ketika dalam forum bahtsul masaail dibahaslah tentang hukum hormat bendera merah putih. Permasalahan ini tidak menemukan titik temu jawaban yang pas. Perang argumen pun tidak terelakkan. Di forum tersebut yang ada hanya salaing serang argumen karena berjam-jam lamanya tidak ada jawaban yang mencerahkan. Pembahasan malah melebar kemana-mana dan buntu.
KH. Abdul Hamid Hasbullah yang bertindak sebagai mushahhih (pemeriksa hasil akhir) baru angkat bicara di detik-detik setelah semua peserta mulai lelah dan menyerah setelah melalui pembahasan yang cukup panjang dan buntu. Menariknya, selama pembahasan bahtsul masaail berlangsung KH. Abdul Hamid Hasbullah malah sare (tidur). Semua peserta harap-harap cemas seperti apa nanti argumen yang bakal disampaikan oleh KH. Abdul Hamid Hasbullah, sosok pakar fiqh dari Tambak Beras, Jombang. Setelah KH. Abdul Hamid Hasbullah bangun dari tidurnya, beliau tanpa pikir panjang langsung memaparkan argumentasi mengenai hukum hormat bendera merah putih dengan jelas dan lugas.
Dalam menyampaikan argumentasinya disertai refrensi, beliau menegaskan bahwa hormat bendera merah putih hukum boleh dan tidak termasuk perbuatan syirik atau malah melebar pada status haram. Hormat bendera, paparnya, tidak dapat dipahami sebagai penghormatan fisik bendera semata. Namun, lebih sebagai ekspresi cinta dan hormat kepada apa yang terkandung di dalamnya.
Para pejuang kemerdekaan, bumi pertiwi, kekayaan alam dan segenap lapisan masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang seharusnya dicintai oleh warga negara. Hal ini tentunya sudah sesuai dengan apa yang diekspresikan Rasulullah saw saat hendak meninggalkan Kota Makkah menuju Madinah dalam hadits riwayat At-Turnudzi yang menggambarkan betapa beratnya Rasulullah saw meninggalkan kota Makkah tempat ia dilahirkan.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَّةَ : ” مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ، وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ، وَلَوْلَا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada negeri Makkah: “Alangkah baiknya engkau dari negeri yang ada, dan engkau adalah negeri yang paling aku cintai, kalau bukan lantaran kaumku mengusirku darimu, aku tidak akan tinggal di negeri selainmu.” (HR Tirmidzi)
Semangat inilah yang menyebabkan salah satu ulama memunculkan ungkapan seorang ulama Besar Indonesia yang memberikan motivasi untuk senantiasa mencintai tanah air; “hubbul wathan minal iman” bahwa mencintai tanah air bagian dari wujud iman. Ekspresi kecintaan kepada mereka di antaranya ditunjukkan melalui hormat bendera.
Tidak cukup di situ saja, KH. Abdul Hamid Hasbullah mengutip syair kuno yang sekaligus dijadikan refrensi atas pendapatnya tentang hukum hormat bendera.
أمر على الديار ديار ليلى * أقبل ذا الجدار وذا الجدار
“Kususuri rumah Laila, kuciumi tembok ini lalu tembok ini”
وما حب الديار شغفن قلبي * ولكن حب من سكن الديار
“Bukan suka kepada rumah yang menyenangkan hatiku, Namun kecintaan kepada penghuninya yang membuat hatiku meluap-luap cinta”
Setelah mendengar penjelasan KH. Abdul Hamid Hasbullah yang memukau dan ilmiah, para musyawirin terdiam, matanya berkaca-kaca, tertegun, dan kagum. Bagaiman tidak, mereka yang berjam-jam membahas masalah hukum hormat bendera tidak kunjung menemukan titik jelas malah buntu. Semua itu dipatahkan dengan tertidurnya KH. Abdul Hamid Hasbullah sepanjang pembahasan yang dilakukan oleh peserta musyawirin, bangun-bangunnya sudah dapat menjawab dengan tuntas dan sempurna. Dengan demikian, semua peserta menerima argumentasi yang dikemukakan oleh KH. Abdul Hamid Hasbullah.
Begitulah kisah sosok ulama yang ahli fiqh dan menguasai dalam hal bahtsul masaail. Bahkan beliau selalu menjadi rujukan utama KH. Wahab Hasbullah di bidang refrensi keislaman.
*) Guru SKI MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid