logo_mts192
0%
Loading ...

Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Nilai Filosofi Pendidikan Praktis

(Studi Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas)

Oleh : M. Aminuddin Shofi, M.H. *)

  1. Pendahuluan

Syed Muhammad Naquib Al-Attas menghadirkan konsep ilmu secara teoritis dan konsep pendidikan dalam tataran praktis yang berasaskan kepada worldview Islam yang tauhīdī, sehingga konsep tersebut jelas berbeda dengan konsep-konsep yang datang dari Barat sekular. Baginya, kedudukan ilmu dalam dunia pendidikan adalah suatu hal yang sangat prinsipil. Karna inti pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial-ekonomi, tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spiritual manusia.[1] Al-Attas kerap kali menyatakan tujuan utama pendidikan adalah taqwa bukan menjadikan manusia memiliki daya guna.

Pandangan al-Attas ini memang menjadi semacam counter attack atas pandangan sekular yang bersifat memisahkan agama dengan negara, bahwa agama adalah ekspresi individu dalam ruang privat yang tidak patut dibawa ke ruang publik termasuk wilayah pendidikan. Sekular atau dalam bahasa arab dialih bahasakan menjadi al-‘Ilmaniyyah adalah gagasan yang muncul di dunia barat yang memiliki arti terminologis sebagai pemisahan antara gereja dan negara, atau otoritas religius dengan otoritas politik, konsekuensi logis dari pemisahan model ini adalah pemahaman bahwa gereja untuk urusan agama saja dan negara untuk urusan dunia.[2]

Orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterpaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta’dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Di sini dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan kata lain, penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.[3] Tujuan pendidikan juga tidak hanya berorientasi menekankan manusia sebagai makhluk individu, akan tetapi juga menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki hubungan dengan yang lain. Tumbuhnya individu yang baik akan melahirkan masyarakat yang baik pula. Manusia dinyatakan sebagai manusia beradab bila ia sadar akan individualitasnya berhubungan secara tepat dengan Tuhan, masyarakat, dan alam.[4]

Maka, berbeda dengan epistemologi Barat yang hanya mengandalkan emperisme dan rasionalisme, epistemologi Islam menurut al-Attas mengakui empat sumber ilmu sekaligus, yaitu: indera, akal, intuisi, dan wahyu. Masing-masing sumber tersebut memiliki kadar kemampuan yang berbeda sehingga mereka tidak bisa dipisah-pisah dan harus digunakan secara proporsional.[5]

Dalam tulisan ini penulis akan menyajikan gagasan Syed Muhammad Naquib al-Attas terkait konsep ilmu dan pendidikan, mulai dari gagasan islamisasi ilmu pengetahuan hingga metode pembelajaran.

  • Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed Muhammad Naquib al-Attas

Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang digaungkan oleh al-Attas memiliki latar belakang keresahan akademik atas perkembangan ilmu pengetahuan barat yang pada akhirnya juga dipelajari di negara-negara muslim. Bagi al-Attas kelimuan yang lahir dari peradaban barat sebelum dipelajari oleh masyarakat muslim harus diislamisasi terlebih dahulu karena bersifat sekular. Menurut hemat penulis sekular yang dimaksud oleh al-Attas disini bukan tentang pemisahan agama dari negara, atau pemahaman umum bahwa agama adalah urusan privat yang tidak patut dibawa ke ruang publik, akan tetapi al-Attas memiliki keresahanakademik terhadap corak kelimuan barat yang cenderung antroposentris.[6]

Premis yang diajukannya adalah bahwa ilmu itu datang dari Allah SWT dan diperoleh oleh jiwa yang kreatif. Al-Attas membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu kedalam dua bagian. Yang pertama adalah ilmu adalah sesuatu yang datang dari Allah dan diberikan kepada insan sebagai karunia-Nya. Hal ini persis seperti yang dikatakan al-Ghazali bahwa ilmu datang sebagimana adanya ke dalam jiwa seseorang dari luar. Dan yang kedua adalah sesuatu yang dicapai oleh jiwa yang aktif dan kreatif berdasarkan daya usaha kemampuannya sendiri, yang telah melalui pengalaman, penyelidikan dan pengkajian.[7] Definisi ini mengindikasi dua cakupan pengertian; pertama, masuknya ilmu dari Allah ke dalam jiwa manusia, kedua, sampainya jiwa manusia kepada objek ilmu melalui penelitian dan kajian. Atau dalam dunia filsafat barat yang pertama mirip dengan konsep pre determination[8] sedangkan yang kedua mirip dengan konsep free will[9]yaitu dua konsep yang saling bertentangan tentang gagasan dasar perihal apakah manusia bisa berkehendak bebas atau berjalan atas kehendak tuhan. Bedanya dua gagasan Ghazali di atas tidak menafikan kekuasaan Tuhan

Kemudian, al-Attas juga merincikan dan memasukan beberapa konsep dasar (fundamental) Islam yang mesti dituangkan serta diejawantahkan ke dalam setiap cabang ilmu apa pun yang dipelajari oleh umat Islam, sebagaimana berikut:  a. Konsep agama (Din), b. Konsep manusia (Insan), c. Konsep ilmu (‘Ilm dan Marifah), d. Konsep kearifan (Hikmah), e. Konsep keadilan (‘Adl), f. Konsep perbuatan yang benar (Amal sebagai adab), g. Konsep universitas (Kulliyah-Jami’ah).[10]

Langkah-langkah kongkrit dalam proses Islamisasi ala al-Attas sebagaimana dikutip Ghazi Abdullah adalah sebagai berikut ini:[11]

  1. Islamisasi harus bermula dari individu yang harus dibebaskan dari pemikiran magis, mitologis, animis, kultur anti Islam, serta pemikiran sekular. Islamisasi individu ini selain itu juga mesti dapat menempatkan diri pada tempatnya sebagai manusia.
  2. agenda berikutnya dalam proses Islamisasi adalah mengislamkan bahasa karena bahasa inilah yang memengaruhi akal dan pandangan alam seseorang. Al-Attas dalam konteks ini, juga menyerap pengalaman Nabi Muhammad Saw tatkala mengislamkan bangsa Arab.
  3. dari Islamisasi bahasa akan segera beralih pada Islamisasi worldview (pandangan alam). Pandangan alam yang telah “terIslamkan” akan membentuk semesta berpikir komprehensif mengenai realitas yang dihadapi manusia berdasarkan wahyu Allah SWT.
  4. setelah pandangan alam (worldview) yang Islami terbentuk dalam pikiran setiap orang, maka secara natural dari situ akan lahir ilmu-ilmu yang terIslamkan.

Konsep Islamisasi menjadi tumpuan mind dan jiwa al-Attas semenjak sekian lama sebelum tertuang menjadi gagasan besar. Islamisasi yang dimaksudkan al-Attas bukan sekedar merubah disiplin ilmu tapi Islamisasi pikiran, jiwa dan raga serta kesan-kesannya terhadap kehidupan manusia. Islamisasi ilmu dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian muslim yang sebenarnya sehingga menambah keimanannya.[12] Dalam artian konsep gagasan Islamisasi ini tidak menolak segala ilmu pegetahuan modern yang lahir di dunia barat, namun lebih menekankan pada cara dan sikap kita ketika akan mempelajarinya.

  • Nilai Filosofi Kurikulun dan Sistem Pendidikan Praktis

Menurut al-Attas, pendidikan khas Islam merupakan pengenalan dan pengakuan, yang secara berangsur-angsur ditanamkan di dalam diri manusia, mengenai tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu ke dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan kedudukan Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadian.[13] Al-Attas selalu menekankan bahwa tujuan utama pendidikan adalah taqwa bukan menjadi pintar atau mengejar posisi strategis dalam kehidupan.

Bangunan kurikulum pendidikan Islam, menurut al-Attas, berangkat dari pandangan bahwa karena manusia itu bersifat dualistik, kandungan kurikulum pendidikan harus memenuhi dua aspek dasar manusia tersebut. Pertama, memenuhi kebutuhannya yang berdimensi permanen dan spiritual atau fardhu ‘ain; dan kedua, yang memenuhi kebutuhan material-emosional atau fardhu kifayah. Pemahaman dan pelaksanaan yang tepat terhadap kategori ilmu pengetahuan fardhu ‘ain (kewajiban bagi diri) dan fardhu kifayah (kewajiban bagi masyarakat) ini akan memastikan realisasi kesejahteraan individu dan sosial. Walaupun kategori pengetahuan yang kedua (fardhu kifayah) berkaitan langsung dengan masyarakat, peranan pengetahuan pertama (fardhu ‘ain) akan mempunyai pengaruh signifikan secara tidak langsung. Dimensi pertama di atas dijadikan nilai-nilai dasar (core values) bagi pengembangan dimensi selanjutnya, yang meliputi aspek keilmuan, aspek life skill dan aspek-aspek lainnya.[14] Selengkapnya terkait hierarki ilmu yang termasuk fardu ain dan fardu kifayah penulis paparkan dalam sub pembahasan tersendiri.

Adapun tujuan dari pendidikan Islam perspekti Naquib al-Attas adalah mengembalikan manusia kepada fitrahnya, bukan pengembangan intelektual atas dasar manusia sebagai warga suatu negara yang kemudian identitas kemanusiannya diukur sesuia dengan perannya dalam kehidupan bernegara, terlebih suatu negara yang dianggap sekuler. Kecenderungan al-Attas terhadap hal tersebut dapat dilihat ketika ia merumuskan tujuan ilmu yang hampir mirip dengan rumusan tjuan akhir pendidikan al-Ghazali.[15]

Dalam istilah al-Attas, proses menjadikan manusia yang baik adalah inculcation of ‘adab’, atau ta’dib. Yaitu proses untuk menjadikan peserta didik mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ini juga menunjukan bahwa semua materi sudah berada pada tempatnya masing-masing dalam pelbagai hierarki wujud, tetapi disebabkan kebodohan dan kesombongannya. Manusia kemudian mengubah tempat-tempat tersebut, sehingga terjadilah ketidakadilan. Maka jangan heran kalau pendidikan mereka tafsirkan dengan hanya sebatas pengetahuan, yang akhirnya terbentuk manusia-manusia yang sekuler.[16]

Dalam memetakan trend pembaharuan pemikiran pendidikan Islam, para intelektual Muslim di dunia Islam memiliki kecenderungan yang berbeda-beda, tetapi terdapat dua trend pemikiran yang menonjol dari kalangan intelektual Muslim yakni; bersifat internal dan eksternal. Bersifat eksternal yaitu upaya pembaharuan yang dilakukan dengan berangkat dari identifikasi penyebab kemunduran umat berdasarkan pengamatan fenomena sosial, politik, ekonomi, teknologi dan lain-lain. sementara bersifat internal yakni upaya pembaharuan yang bertolak dari pencarian penyebab kemunduran umat secra internal dari pemahaman yang insten serta perenungan yang mendalam mengenai makna Islam itu sendiri.[17] Al-Attas menganalisis bahwa yang menjadi penyebab kemunduran dan degenerasi kaum muslimin justru bersumber dari kelalaian mereka dalam merumuskan dan mengembangkan rencana pendidikan yang sistematis berdasarkan prinsip-prinsip Islam secara terkoordinasikan dan terpadu.[18]

Seperti telah disinggung di atas, menurut al-Attas sebagaimana pandangannya tentang pentingnya bahasa, kesalahan semantik dalam memahami konsep pendidikan dan proses pendidikan mengakibatkan kesalahan isi, maksud dan tujuan pendidikan. Istilah tarbiyah bagi al-Attas tidak cukup representatif untuk pendidikan. Menurut al-Attas kata ta’dib lebih tepat untuk pendidikan dan proses pendidikan, sebab ta’dib lebih luas cakupannya, meliputi unsur pengetahuan (ilm-ma’arif), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan (tarbiyah).[19]

Dalam pandangan al-Attas, istilah ta’dib lebih tepat untuk mengartikan pendidikan Islam.[20] Aada beberapa kosa kata yang merupakan konsep kunci untuk membangun konsep pendidikan, yaitu: makna (ma’na), ilmu (‘ilm), keadilan (‘adl), kebijaksanaan (hikmah), tindakan (‘amal), kebenaran atau ketepatan sesuai dengan fakta (haqq), nalar (nathiq), jiwa (nafs), hati (qalb), pikiran (‘aql), tatanan hirarkhis dalam penciptaan (maratib dan darajat), kata-kata, tanda-tanda dan simbol-simbol (ayat), interpretasi (tafsir dan ta’wil) dan adab (adb). Kesemua unsur penting tersebut ada dalam istilah ta’dib. Unsur yang terakhir disebutkan, yaitu adab, adalah konsep kunci yang merupakan inti pendidikan dan proses pendidikan. Karena adab adalah disiplin tubuh, jiwa, dan ruh yang menegaskan pengenalan dan pengakuan mengenai posisi yang tepat mengenai hubungannya dengan potensi jasmani, intelektual dan ruhaniyah. Adab diartikan juga disiplin terhadap pikiran dan jiwa, yakni pencapaian sifat-sifat yang baik oleh pikiran dan jiwa untuk menunjukkan tindakan yang betul melawan yang keliru, yang benar melawan yang salah, agar terhindar dari kehinaan.[21]

Berikut penulis paparkan nilai-nilai filosofis dalam pemikirian pendidikan Syed Naquib al-Attas:

  1. Persiapan Spiritual

Wan Mohd Nor Wan Daud mengutip pendapat al-Attas menyatakan bahwa dalam pendidikan terdapat sifat spiritual yang mendasar, Ikhwan al-Shafa pada akhir abad ke-10 mengingatkan bahwa akan terjadi kegagalan jika pengetahuan hanya dicari berlandaskan hanya semata tujuan duniawi.[22] Al-Attas juga menyatakan bahwa: Ilmu Pengetahuan haru dikuasai dengan pendekatan yang berlansakan sikap ikhlas, hormat, dan sederhana terhadapnya, pengetahuan tidak dapat dikuasai dengan tergesa-gesa seakan-akan pengetahuan adalah sesuatu yang terbuka bagi siapa saja untuk menguasainya tanpa terlebih dahulu menilik pada tujuan, kemampuan, dan persiapan.[23]

Dimensi spiritual menjadi sangat penting, al-Attas menjelaskan peserta didik harus memiliki rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan dan Islam, dia mengecam kondisi beberapa ilmuwan kini yang bersikap hanya sebagai serdadu akademis. Situasi ini adalah puncak akumulasi dari trend ideologi ekonomis yang sedang berlaku, sebagai gambaran hal ini mengakibatkan sikap-sikap peserta didik di tingkat perguruan tinggi (mahasiswa) secara umum cenderung memilih program akademik yang dalam segi sosial-ekonomik lebih menjanjikan tetapi secara akademik jumud.[24]

  • Otoritas dan Peranan Guru

Adab guru dan peserta didik dalam pandangan al-Attas nampaknya terilhami oleh pemikiran al-Ghazali yang menekankan bahwa selain persiapan spiritual, guru dan peserta didik harus mengamalkan adab (mendisiplinkan pikiran dan jiwa). Peserta didik harus menghormati dan percaya kepada guru; harus sabar denan kekurangan gurunya dan menempatkannya dalam perspektif yang wajar, objektif, dan manusiawi. Di sisi lain guru dalam pandangan al-Attas sudah seharusnya tidak menafikan nasihat, ide, atau masukan yang datang dari peserta didik dan harus memberikan ruang berproses dan berkreasi sesuai dengan kemampuannya.[25]

Peranan dan otoritas guru dalam pendidikan Islam menurut al-Attas tidak berarti akan menekan sisi individualitas, kebebasan, dan kreatifitas peserta didik. Kepatuhan seorang peserta didik dibuktikan dengan menyerahkan otoritas keilmuan terhadap seorang guru, al-Attas ibaratkan dengan praktik taklid yang tetap mensyaratkan adanya tingkat pengetahuan, nilai etika, dan sikap saling percaya. Jadi sikap kepatuhan peserta didik terhadap guru bukan berarti sebatas proses taklid buta, sebaliknya tindakan seperti ini tetap memerlukan pengetahuan murni dalam rangka untuk semisal membedakan berbagai pandangan para hali atas suatu hal. Dan ini sangat penting pada tahap awal perkembangan para penuntut ilmu.[26]

Penghormatan terhadap guru, akan menjadi kenyataan jika para guru tidak hanya memiliki otoritas secara akademik di bidang mereka saja, akan tetapi juga memberikan contoh moral secara konsisten. Al-Attas mengajarkan dan mempraktekkan hubungan guru dan murid yang menjadikan loyalitas dan keikhlasan sebagai sifat yang sangat penting. Oleh sebab itu, dalam beberapa waktu ia masih aktif membimbing gerakan mahasiswa dalam universitas nasional yang telah banyak membantu mengorientasikan perjuangan mereka dengan isu-isu yang memiliki kepentingan mendasar ke arah kemajuan nasional, seperti masalah kebudyaan, bahasa nasional, dan lain-lain.[27]

Oleh karena peranan dan otoritas guru dianggap sangat penting dalam dunia Islam peserta didik disarankan untuk tidak tergesa-gesa belajar kepada sembarang guru, sebaliknya dia harus meluangkan waktu untuk mencari dan menentukan guru terbaik dalam bidang yang digemari. Pentingnya mendapatkan guru tebaik yang memiliki reputasi tinggi bahkan menjadi sebuah tradisi.[28]

  • Hierarki Keilmuan (Fardu Ain dan Fardu Kifayah)

Menurut Al Attas, hierarki ilmu pengetahuan dan kurikulum Pendidikan Islam itu harus mampu menggambarkan manusia dan hakekatnya. Adanya pembedaan keilmuan ini bukan untuk mendikotomikan Ilmu Pengetahuan tetapi itu menjadi satu kesatuan yang dinamis untuk membebaskan manusia dan menumbuhkan potensi manusia. Kebebasan dalam akademik menurut Al Attas bukanlah kebebasan tanpa batas tapi kebebasan akademik dimaknai sebagai dasar pencapaian dan penyebarluasan adab setinggi-tingginya sesuai kemampuan.[29]

Al-Attas membagi hierarki keilmuan menjadi dua yaitu fardu ain dan fardu kifayah. Kandungan terperinci dari dua kategori ilmu pengetahuan yang telah disebutkan, yaitu ilmu fardhu ‘ain (kewajiban bagi diri) dan ilmu fardhu kifayah (kewajiban bagi masyarakat) adalah sebagai berikut:[30]

  1. Fardu Ain (Ilmu-ilmu agama)
    1. Kitab Suci Al-Qur‟an: pembacaan dan interpretasinya (tafsir dan ta‟wil).
    1. Sunnah: kehidupan Nabi; sejarah dan risalah nabi-nabi terdahulu, hadis dan perawinya.
  2. Syari‟at: fiqih dan hukum; prinsip-prinsip dan pengamalan Islam (Islam, Iman, Ihsan).
  3. Teologi (ilmu Kalam); Tuhan, Zat-Nya, Sifat-Sifat, Nama-Nama, dan perbuatan-Nya (al-tauhid).
  4. Metafisika Islam (at-Tasawwuf-irfan); psikologi, kosmologi dan ontologi; elemen-elemen dalam filsafat Islam (termasuk doktrin-doktrin kosmologis yang benar, berkenaan dengan tingkatan-tingkatan wujud).
  5. Ilmu-ilmu bahasa (linguistik); bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi dan sastra.
    1.  Fardu Kifayah

Pengetahuan fardu kifayah tidak diwajibkan kepada setiap muslim untuk mempelajarinya, tetapi seluruh masyarakat muslim harus bertanggung jawab kalau tidak ada seorang pun yang mempelajarinya. Bagaimanapun juga ilmu ini penting untuk memberikan landasan teoritis dan motivasi keagamaan kepada umat Islam untuk mempelajari dan mengembangkan segala ilmu pengetahuan ataupun teknologi yang diperlukan untuk kemakmuran masyarakat. Dalam hal ini Al-Attas membagi pengetahuan fardu kifayah menjadi delapan disiplin ilmu, yaitu:[31]

  1. Ilmu-ilmu Kemanusiaan.
    1. Ilmu-ilmu Alam.
  2. Ilmu-ilmu Terapan.
  3. Ilmu-ilmu Teknologi.
  4. Perbandingan Agama.
  5. Kebudayaan dan peradaban Barat.
  6. Ilmu-ilmu Linguistik: bahasa-bahasa Islam, dan
  7. Sejarah Islam.

Walaupun begitu Al Attas tidak membatasi pengetahuan fardu kifayah hanya delapan disiplin ilmu saja, tetapi tidak terbatas. Karena pada prinsipnya pengetahuan (ilm) itu sendiri adalah sifat Tuhan.

Al-Attas menjelaskan bahwa pembagian ini berdasarkan kewajiban manusia untuk menuntut ilmu dan mengembangkan adab. Arti pendidikan sebagai ta’dib yaitu proses sebuah proses pembelajaran yang terus berlangsung seumur hidup yang tidak terbatas hanya pada sekolah.[32] Menurut al-Attas fardu ain bukanlah sekumpulan ilmu yang kaku dan tertutup, pendapat ini juga sama dengan apa yang diutarakan oleh al-Ghazali. Cakupan fardu ain ini sangat luas serta dinamis dengan disesuaikan dengan perkembangan dan tanggung jawab spiritual, sosial, dan profesional seseorang.[33]

Secara eksplisit gagasan al-Attas disini terkesan mengutamakan ilmu keagamaan dibanding ilmu yang lain semsisal pengetahuan alam, sosial, dan teknologi. Namun apabila dicermati pada dasarnya al-Attas hanya berusaha menempatkan hierarki keilmuan sesuai dengan porsi dan tuntutan umat muslim dalam menuntut ilmu. Sederhananya sebuah ilmu digolongkan fardu ain, kareni kegunaannya berkaitan langsung dengan masing-masing individu secara personal, sedangkan sebuah ilmu digolongkan fardu kifayah karena kegunaannya berkaitan dengan masing-masing individu secara komunal. Mudahnya pada dasarnya seorang muslim tidak salah jika ingin mendalami disiplin ilmu apapun, asalkan tidak lupa memiliki kewajiban mengaji karena itu fardu ain.

Salah satu yang menarik dari gagasan al-Attas menggarisbawahi pandangannya bahwa bahwa tidak ada dikotomi antara apa yang dianggap teori dan praktik. Jika benar-benar mengetahui suatu teori, seseorang mestinya mampu melaksanakannya dalam praktik, kecuali jika terhalang oleh sebab-sebab eksternal yang tidak dapat dielakkan. Artinya dalam dunia pendidikan peserta didik harus mampu mempraktikkan teori yang dipelajari. Yang tertulis di buku harus ditransformasikan menjadi realitas. Pandangan ini berbeda dengan teori dasar dalam ilmu hukum bahwa selalu ada jarak antara teori dan fakta realitas, antara hukum tertulis (law in the books) dan hukum yang hidup dalam realitas (law in action). Selalu ada jarak pemisah antara das sein dan das sollen.[34]   

  • Prinsip dan Metode Pembelajaran

Terdapat beberapa aspek dari kurikulum yang diusulkan Syed Muhammad Naquib al-Attas yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu peranan bahasa, metode tauhid untuk menganalisis ide dan instrumen didaktik lainnya seperti metafora, perumpamaan dan cerita. Berikut uraian metode pendidikan Islam:

  1. Peranan Bahasa

Al-Attas berpendapat langkah awal sebelum islamisasi pengetahuan diterapkan haruslah terlebih dahulu melakukan islamisasi bahasa. Dalam pandangannya kerangka islamisasi bahasa ini sebagaimana diisyaratkan oleh al-Qur’an itu sendiri pada saat kali pertama diturunkan di tengah peradaban Arab. Antara bahasa, pikiran, dan nalar pada hakekatnya adalah tiga entitas yang saling berkaitan erat secara organik, maka islamisasi bahasa pada akhirnya akan memicu islamisasi penalaran atau pemikiran.[35]  Islamisasi bahasa Arab pada masa awal islam yang bermuatan ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu, pada akhirnya dapat mengubah kedudukan bahasa Arab diantara bahasa-bahasa manusia yang lain, dalam artian bahasa arab menjadi memiliki pemahaman baru dan tersempurnakan sebagai kosa kata dasar islam serta tidak terpengaruh oleh perubahan social seperti halnya bahasa lainnya yang berasal dari budaya dan tradisi. Terangkatnya derajat bahasa arab sebagai bahasa dimana Tuhan menurunkan al-Qur’an telah menjadikan bahasa ini terpelihara dari perubahan dan tetap hidup sebagai bahasa Arab yang standart dan luhur. Oleh karena itulah istilah-istilah yang berkenaan dengan islam tidak akan terjadi perubahan, sehingga akan selalu sesuai dengan segala zaman dan generasi, serta menjadi jaminan akan kelengkapan pengetahuan tentang islam, karena pengetahuan yang dibawa oleh islam bersifat pasti dan mapan, bukan hanya suatu pengetahuan yang berkembang seperti halnya dengan manusia dan sejarah yang selalu berkembang.[36] 

Sebagai contoh di tanah air, khususnya di wilayah Jawa, gagasan al-Attas tersebut tampaknya tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh Wali Songo. Ketika melakukan dakwah, mereka tidak langsung merubah tata aqidah dan ibadah masyarakat Jawa yang mayoritas Hindhu-Budda, melainkan masuk lewat budaya dan bahasa. Yaitu, dengan menggubah tembang-tembang, hikayat, cerita wayang, tradisi, kebiasaan dan seterusnya yang awalnya bernuansa politheistik atau materialistik menjadi sesuatu yang bernuansa dan mengandung nilai-nilai tauhid dan keakheratan. Bahasa dan istilah-istilah dalam tembang, gending atau cerita wayang dibiarkan tetap menggunakan bahwa Jawa, tidak diganti dengan istilah-istilah bahasa Arab, tetapi isi dan nilai kandungannya yang dirubah. Berawal dari perubahan kandungan bahasa inilah kemudian dirubah cara pandang (world view) dan aqidah masyarakat.[37]

  • Penanaman Nilai Tauhid

Ungkapan tauhid yang menjadi karakteristik dan epistemologi Islam al-Attas, secara sederhana dapat digambarkan bahwa manusia menerima pengetahuan dan kearifan spiritual dari Allah SWT melalui pengertian langsung atau pengindraan spiritual, yaitu pengalaman yang hampir secara serentak mengungkapkan suatu kenyataan dan kebenaran sesuatu kepada pandangan spiritualnya (kasf). Ia bersatu padu dengan adab mencerminkan kearifan dan sehubungan dengan masyarakat yang beradab adalah perkembangan tata tertib yang adil di dalamnya.[38]

Penanaman prinsip tauhid begitu penting karena menurut al-Attas bahwa kepercayaan yang benar itu dalam perspektif Islam bukan hanya suatu proposisi, melainkan juga sesuatu yang bersifat intuitif yaitu salah satu aspek dari kapasitas spiritual akal manusia. Kepercayaan yang benar dalam Islam adalah Iman, yang tidak hanya berupa pernyataan penerimaan suatu proposisi, tetapi juga melibatkan afirmasi spiritual atau internal dan konfirmasi fisik. Jadi, ilmu adalah kebenaran yang didenotasikan dengan istilah haq, yang merangkum sesuatu, baik proposisi maupun ontologi.[39]

  • Pancaindra, Akal, dan Intuisi

Bertentangan dengan filsafat dan sains modern sekular dalam hal sumber dan metode ilmu, al-Attas menjabarkan bahwa ilmu datang dari Tuhan dan diperoleh melalui sejumlah saluran, yaitu: indera yang sehat, laporan (khabar) yang benar yang disandarkan pada otoritas, akal yang sehat, dan intuisi.[40] Ini mirip dengan pandangan Muhammad Arkoun yang menyatakan bahwa segala segala jenis epistemologi pada dasarnya dapat digunakan secara dinamis dan proposional tanpa harus dipisah-pisah.[41]

Pandangan al-Attas ini sebagai jawaban atas arogansi sikap ilmiah dari dunia barat yang memang terlalu mengedepankan rasio-logis dan kurang mempercayai sumber pengetahuan lainnya sebagaimana yang diakui dalam islam. Nas al-Qur’an semisal.

  • Metode Metafora dan Cerita

Ciri khas metode pendidikan perspektif al-Attas adalah dengan menggunakan metaforan dan cerita sebagai perumpamaan dan memudahkan pemahaman peserta didik. Metode semacam ini banyak digunakan dalam al-Qur’an dan Hadis. Efektivitas metode ini tidak diragukan lagi bahkan dalam dunia pendidikan barat.[42]

Menurut Izutsu[43] para filosof muslim memiliki kecenderungan menggunakan metafora dan perumpamaan dalam dimensi metafisika, khususnya dalam penjelasan mengenai hubungan antara Kesatuan dan Keragaman atau realitas absolut da hal-hal fenomenal yang tampak kontradiktif. Seringnya penggunaan metafora adalah ciri khas dalam filsafat islam, atau bahkan filsafat timur. Ia tidak dapat dianggap sekedar ungkapan puitis, akan tetapi secar kognitif nilai atau pemahaman yang akan disampaikan akan lebih tepat jika menggunakan metafora.

  • Penutup

Konsep islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Attas baik secara teoritis maupun konsep pendidikan dalam tataran praktis adalah sebuah keilmuan harus berasaskan kepada worldview Islam yang tauhīdī, sehingga konsep tersebut jelas berbeda dengan konsep-konsep yang datang dari Barat sekular. Baginya, kedudukan ilmu dalam dunia pendidikan adalah suatu hal yang sangat prinsipil. Karena inti pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial-ekonomi, tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spiritual manusia melalui proses ta’dib.

Dalam dunia praktis pendidikan al-Attas menekankan terhadap aspek persiapan spiritual, otoritas dan peranan guru, serta pemahaman tentang hierarki keilmuan. Hal ini perlu dilakukan agar supaya tujuan pendidikan untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya, bukan pengembangan intelektual atas dasar manusia sebagai warga suatu negara yang kemudian identitas kemanusiannya diukur sesuia dengan perannya dalam kehidupan bernegara, menjadi tercapai.

Penerapan islamisasi ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan praktis menurut gagasan al-Attas dapat dilakukan dengan lima metode yaitu; Peranan bahasa yang dirubah worl view-nya agar selaras dengan nilai keislaman, penanaman nilai tauhid, penggunaan pancaindra, akal, dan intuisi secara proporsional, dan terakhir menggunakan metode metafora dan cerita dalam menjelaskan sebuah disiplin keilmuan.

*) Sekretaris Komite MTs. Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul

Daftar Pustaka

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Filsafat Sains. Terj. Saiful Muzani. Bandung: Mizan, 1995.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Sekularisme. Bandung: Pustaka, 1981. 

Al-Attas, Muhammad Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam. terj. Haidar Bagir. Bandung: Mizan, 1994. 

Alfi, Lailah. “Konsep Ilmu Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Analisis buku Islam dan Filsafat Sains)”. TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam. Vol.II. Agustus, 2018.

Efendi, Zulham. “Pemikiran Pendidikan Naquib al-Attas”. Jurnal Waraqat. Vol. II. Juli-Desember, 2017.

Ghoni, Abdul. “Pemkiran Pendidikan Naquib al-Attas Dalam Pendidikan Islam Kontemporer”. Jurnal Lentera. Vol. III. Maret, 2017.

Hasan Hanafi dan Muhammad ‘Abid Al-Jabiri. Dialog Timur dan Barat. terj. Umar Bukhory. Yogyakarta: IRCiSoD, 2015.

Izutsu, Toshihiko. The Concept nad Reality of Existence. Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Cognitive Studies, 1971.

Krismiyarsi. “Kajian Terhadap Pendekatan Ilmu Hukum Normatif dan Ilmu Hukum Empirik Sebagai Dua Sisi Pendekatan yang Saling Mengisi”. Jurnal MMH. Vol. XXXXIV. Desember, 2016.

Makhfira Nuryanti dan Lukman Hakim. “Pemikiran Islam Modern Syed Naquib al-Attas”. Substantia. Vol. XXII. April, 2020.

Muttaqien, Ghazi Abdullah. “Pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas Tentang Islamisasi Ilmu”. JAQFI Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam. Vol. IV. 2019.

Santoso, Listiyono.dkk. Seri Pemikiran Tokoh; Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015.

Sholeh, A. Khudori. “Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas Tentang Islamisasi Bahasa Sebagai Langkah Awal Islamisasi Sains”. LiNGUA Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra.Vol. V. Juni, 2010.

Suyono, Yusuf. “’Gap Antara Das Sein dan Das Sollen Ilmu-ilmu Keagamaan Islam: Perspektif Filsafat Ilmu. Jurnal Teologia. Vol. XXVII. Juni, 2016.

Sya’bani, Mohammad Ahyan Yusuf. “Pemikiran Syed Naquib al-Attas Tentang Pendidikan Islam”. Tamaddun. Vol. XII. Januari, 2014.

Tutupary, Victor Delvy. “Kebebasan Kehendak (Free Will) David Ray Griffin Dalam Perspektif Filsafat Agama. Jurnal Filsafat UGM. Vol. XXVI. Februari, 2016.

Wan Daud, Wan Mohd Nor. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas. terj. Hamid Fahmi dkk. Bandung: Mizan, 2003.

Wiratama, Andi. “Konsep Pendidikan Islam dan Tantangannya Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas”. At-Ta’dib. Vol.V. Shafar,1430.


[1]Lailah Alfi, “Konsep Ilmu Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Analisis buku Islam dan Filsafat Sains)”, TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam, Vol.II, (Agustus,2018), 197

[2]Hasan Hanafi dan Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Dialog Timur dan Barat, terj. Umar Bukhory, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), 74

[3]Andi Wiratama, “Konsep Pendidikan Islam dan Tantangannya Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas”, At-Ta’dib, Vol.V, (Shafar,1430), 39

[4]Makhfira Nuryanti dan Lukman Hakim, “Pemikiran Islam Modern Syed Naquib al-Attas”, Substantia, Vol, XXII, (April, 2020), 81

[5] Ghazi Abdullah Muttaqien, “Pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas Tentang Islamisasi Ilmu”, JAQFI Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam, Vol. IV, (2019), 115

[6]Antroposentrisme berawal dari filsafat pelepasan manusia dari kungkungan Tuhan. Paradigma tersebut muncul seiring dengan munculnya renaissance. Dan, lahirlah pemikiran bahwa manusia adalah pusat segala sesuatu. Tuhan dan dewa-dewa hanya dianggap sebagai mitos. Pandangan antroposentrisme muncul sebagai pendobrak pandangan keagamaan mitologi secara revolusioner. Pandangan antroposentrisme atau juga lazim dikenal dengan humanisme beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan, melainkan manusia. Manusialah penguasa realitas, yang menentukan nasibnya sendiri dan kebenaran. Karenanya, Tuhan dan kitab-kitab suci tidak diperlukan lagi. Antroposentrisme sejatinya hadir dengan datangnya rasionalisme yang tidak lagi percaya lagi bahwa hukum alam bersifat mutlak. Lihat Junaidi Abdillah, “Dekonstruksi Tafsir Antroposentrisme: Telaah Ayat-Ayat Berwawasan Lingkungan”, Ejournal Raden Intan, Vol. 8, (Juni, 2014), 69.

[7]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, Terj. Saiful Muzani, (Bandung: Mizan, 1995), 78. Lihat juga, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme…, 179.

[8]“Adalah gagasan yang menyatakan bahwa fakta adalah sesuatu yang telah diputuskan atau diatur sebelum itu terjadi”, termasuk dalam konsep ini adalah konsep tentang takdir Tuhan atau god’s destinyhttps://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/predetermination, diakses 11 November 2020

[9]“Adalah kemampuan untuk memilih diantara berbagai rencana tindakan yang memungkinkan. Hal ini terkait erat dengan konsep tanggung jawabpujiankesalahandosa, dan penilaian-penilaian lain yang hanya berlaku pada tindakan-tindakan yang dipilih secara bebas. Hanya tindakan-tindakan yang dikehendaki secara bebas yang dipandang layak untuk dibenarkan atau dipersalahkan”. Selengkapnya lihat: Victor Delvy Tutupary, “Kebebasan Kehendak (Free Will) David Ray Griffin Dalam Perspektif Filsafat Agama, Jurnal Filsafat UGM, Vol. XXVI, (Februari, 2016).

[10]Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Pustaka, 1981), hlm. 233. 

[11]Abdullah Muttaqien, “Pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas”, 121-122

[12]Makhfira Nuryanti, “Pemikiran Islam Modern Syed Naquib al-Attas”, 78

[13]Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Baqir, (Bandung: Mizan, 1994), 61.

[14]Zulham Efendi, “Pemikiran Pendidikan Naquib al-Attas”, Jurnal Waraqat, Vol. II, (Juli-Desember, 2017), 130

[15]Abdul Ghoni, “Pemkiran Pendidikan Naquib al-Attas Dalam Pendidikan Islam Kontemporer”, Jurnal Lentera, Vol. III, (Maret, 2017), 202

[16]Andi Wiratama, “Konsep Pendidikan Islam dan”, 38

[17]Abdul Ghoni, “Pemkiran Pendidikan Naquib al-Attas”, 198

[18]Al-Attas, Islam dan Sekularisme, 13. 

[19]Mohammad Ahyan Yusuf Sya’bani, “Pemikiran Syed Naquib al-Attas Tentang Pendidikan Islam”, Tamaddun, Vol. XII, (Januari, 2014), 18

[20]Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, 64. 

[21]Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, 52

[22]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmi dkk, (Bandung: Mizan, 2003), 258.

[23]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, 259

[24]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, 289

[25]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, 262

[26]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, 263

[27]Abdul Ghoni, “Pemkiran Pendidikan Naquib al-Attas”, 210

[28]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, 269

[29]Zulham Efendi, “Pemikiran Pendidikan Naquib al-Attas”, 132.

[30]Zulham Efendi, “Pemikiran Pendidikan Naquib al-Attas”, 131

[31]Zulham Efendi, “Pemikiran Pendidikan Naquib al-Attas”, 132

[32]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, 272

[33]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, 273

[34]Krismiyarsi, “Kajian Terhadap Pendekatan Ilmu Hukum Normatif dan Ilmu Hukum Empirik Sebagai Dua Sisi Pendekatan yang Saling Mengisi”, Jurnal MMH, Vol. 44, (Desember, 2016), 114. Lihat juga: Yusuf Suyono, “’Gap Antara Das Sein dan Das Sollen Ilmu-ilmu Keagamaan Islam: Perspektif Filsafat Ilmu, Jurnal Teologia, Vol. XXVII, (Juni, 2016).

[35]Al-Attas, Islam dan Sekularisme, 195-196.

[36]Al-Attas, Islam dan Sekularisme, 63-64

[37]A Khudori Sholeh, “Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas Tentang Islamisasi Bahasa Sebagai Langkah Awal Islamisasi Sains”, LiNGUA Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra, 5 (Juni, 2010), 7.

[38]Mohammad Ahyan Yusuf Sya’bani, “Pemikiran Syed Naquib al-Attas Tentang Pendidikan Islam”, Tamaddun, Vol. XII, (Januari, 2014), 23

[39]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik…, 148-149.

[40]Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, , 34

[41]Listiyono Santoso dkk, Seri Pemikiran Tokoh; Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), 63.

[42]Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, 311

[43]Toshihiko Izutsu, The Concept nad Reality of Existence, (Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Cognitive Studies, 1971), 16.

Share the Post:

Join Our Newsletter