Oleh : Husen, S.Pd.I *)
Inovasi bagi seorang guru merupakan suatu tindakan untuk menghasilkan metode-metode pengajaran yang relevan dengan perkembangan zaman. Karena inovasi adalah upaya memperkenalkan berbagai hal, gagasan atau cara-cara baru dalam melakukan sesuatu (atau sesuatu yang baru diperkenalkan).
Anjuran Ali bin Abi Thalib RA, “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian” memberikan gambaran bahwa dalam Islam diajarkan untuk mendidik anak sesuai dengan zamannya, karena ilmu bersifat dinamis dan selalu berkembang. Sehingga metode pengajarannya pun harus menyesuaikan dengan kondisi yang akan dihadapi di masa sekarang atau masa yang akan datang agar mereka setidaknya mampu beradaptasi.
Baca Juga
PEMUDA DALAM ISLAM
Tuntutan guru agar senantiasa berinovasi tak dapat dielakkan selama masih ada manusia yang menghidupkan peradaban. Ini merupakan konsekuensi dari kondisi masyarakat yang berkembang, adaptif, dan senantiasa mendambakan kehidupan ideal. Dinamika dan perubahan yang mencolok dalam dua dekade terakhir terjadi pada perubahan tatanan sosial termasuk nilai-nilai yang melekat padanya (hukum dan norma sosial) sebagai imbas dari kemudahan mendapatkan pengetahuan dan pesatnya teknologi.
Perkembangan-perkembangan yang tampak membawa pengaruh pada orientasi nilai dan standar hidup tiap orang, pola komunikasi antar individu, hubungan sosial, dan politik. Orientasi nilai negatif yang mengarah kepada gaya hidup materialistis dan pragmatis yang dialami sebagian besar masyarakat secara tak langsung dapat pula melemahkan minat guru-guru untuk berinovasi. Hal demikian ini dikhawatirkan akan melemahkan proses belajar-mengajar – utamanya terjadi di madrasah/sekolah yang dikenal sebagai media transfer of knowledge. Misalnya sikap pragmatis guru dapat ditunjukkan dengan hanya sekedar memberikan catatan-catatan dalam pengajarannya, bukankah search engine Google sudah sangat mumpuni untuk menggantikan tugas semacam itu, bahkan dengan keyword yang tepat artificial intelligence (AI) yang tertanam di mesin pencari akan menampilkan penjelasan yang cukup jelas bagi siswa dengan beragam audio-visual. Pragmatisme guru yang demikian bisa saja menular pada siswa, mereka pun hanya sekedar mengunduh materi lalu mencetaknya atau mengerjakan tugas dengan copy-paste pekerjaan orang lain. Lalu, letak pembelajaran bermaknanya ada di bagian mana dalam proses tersebut?
Kesadaran akan realita zaman yang kian dinamis dengan banyak tersingkapnya tabir-tabir ilmu pengetahuan yang menurunkan teknologi terapan di berbagai bidang seharusnya memberi dorongan bagi guru-guru untuk senantiasa mau membuka diri untuk belajar hal yang belum diketahui dan memperluas wawasan serta menambah keterampilan. Harapannya, guru dapat berperan menjadi sumber motivasi yang kuat bagi siswanya untuk belajar sesuai arahan (metode pembelajaran) dan mampu mengembangkan secara pribadi perkembangan intelektual, emosional, maupun psikomotoriknya.
Pendekatan, metode, dan teknik belajar-mengajar menjadi penting untuk terus dikembangkan, di samping hal-hal mendasar lainnya. Tuntutan inovasi ini mewajibkan guru untuk menjalankan tugas dan perannya secara profesional dan proporsional. Terkait hal tersebut, pemanfaatan teknologi internet (software) dan perangkat elektronik (hardware) untuk menunjang pembelajaran harus mulai diterapkan di kelas-kelas. Karena memberikan pembelajaran bermakna pada hakekatnya adalah suatu proses interaksi antara siswa dengan lingkungannya, baik antar siswa, siswa dengan sumber belajar, maupun siswa dengan pendidik atau guru-gurunya.
Hanya saja, peluang memberikan pembelajaran bermakna dengan pendekatan teknologi seperti itu terkadang tidak dimanfaatkan untuk mendapatkan hal-hal positif, seringkali mereka yang awam dengan pemanfaatan teknologi mencibir sinis dengan argumen “dampak negatif” yang lebih ditonjolkan. Sungguh hipokrit, sikap demikian itu tidak diimbangi dengan kemauan untuk mempelajari, lebih absurd jika cibiran kritik untuk sekedar menutupi ketidaktahuannya.
Terlepas dari hal tersebut, semua sepakat bahwa guru adalah penentu kualitas dan daya tarik proses pembelajaran. Proses belajar-mengajar yang konvensional lebih memposisikan guru sebagai sumber pengetahuan dengan penunjang utamanya yaitu buku ajar. Tidak ada yang salah dengan hal itu, tetapi jika mengharapkan pembelajaran bermakna maka metode tersebut dirasa masih kurang tepat. Karena belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu dan melalui interaksi dalam suatu konteks sosial maka memposisikan guru hanya sebagai sumber pengetahuan sangatlah tidak sesuai. Guru butuh berinovasi dalam menyajikan materi dan hal lain sebagainya agar memenuhi “proses belajar”.
Jika diurai, penciptaan makna terjadi pada dua jenjang pemahaman, yaitu: pemahaman mendalam (inert understanding) dan pemahaman terpadu (integrated understanding). Penciptaan makna bisa terwujud melalui partisipasi aktif antara guru dan siswa serta lingkungan. Artinya setiap individu dapat belajar, menciptakan makna, dan berkreasi berdasarkan konteks komunitas budayanya masing-masing.
Idealnya guru menurut hemat penulis, yaitu memiliki integritas untuk mau membuka diri dengan perkembangan teknologi dan tiada henti berinovasi. Selamat Hari Guru, Berinovasi Mendidik Generasi.
*) Waka. Kurikulum MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid
3 Replies to “Integritas Guru Selaras Zaman (Refleksi Hari Guru 2022)”