Oleh: Viera Vaizatul Maulidia *)
Ia membuka lokernya, mengambil obat untuk penyakit kanker yang diidapnya. Tidak seorang pun yang mengetahui penyakitnya ini, bahkan keluarganya sendiri. Safira yang menjadi sahabatnya sejak awal di pemondokan pun tak mengetahuinya.
Bukannya April tak mempercayai semua orang, dia hanya hanya tak ingin merepotkan siapapun dan tidak mau dikasihani akibat penyakitnya. Sudah setahun ini dia mengetahui kanker otak yang dideritanya semenjak pingsan dan pihak pos kesehatan pesantren (Poskestren) merujuknya ke rumah sakit.
Uang saku dari orang tuanya yang hanya cukup untuk kebutuhan makan disisihkannya untuk membeli obat, jarang terlihat April membeli jajanan seperti teman-temannya. Dengan sabar ia jalani belajar di pondok tanpa mengeluh sedikit pun walaupun setahun belakangan ini kondisinya semakin memburuk karena pengobatan yang tidak maksimal.
Sangat sering April mimisan dan pusing kepala. Safira yang sering mengetahui hal itu, karena dia lebih sering bersama April di setiap kegiatan di pondok. Namun akhir-akhir ini April sering tertidur ketika di kelas atau di saat dia melamun.
“Kamu akhir-akhir ini sering tidur di kelas, padahal lomba tahfidz sebentar lagi digelar, lho!” Safira mengingatkan.
“Iya, tidak tahu ini kenapa badanku kok gampang sekali lelah. Mungkin banyaknya yang harus aku hafalkan.” Sambil tersenyum berusaha menutupi fakta yang sebenarnya.
“Apa semua juz sudah hafal? Kalau sudah semua juz sudah kamu hafal mending sekarang banyak-banyak istirahat dan berdoa, pasrahkan semuanya kepada Allah SWT” Saran Safira agar tidak terlalu keras dalam mempersiapkan diri menyambut perlombaan tahfidz.
“Alhamdulillah sudah yakin dengan hafalanku, Fir. Aku ingin sekali memenangkan perlombaan ini. Aku ingin mengumrohkan kedua orangtuaku, setidaknya mereka bangga memiliki aku. Terima kasih ya sudah mau jadi sahabatku, selalu mengingatkan aku, Fir!” April mengutarakan harapannya dengan menyeka darah yang mengalir dari lubang hidungnya.
“Omong-omong, selain sering tidur di kelas, akhir-akhir ini kamu juga sering menangis, lho! Terutama setelah orangtuamu mengunjungimu. Ada apa sih sebenarnya? Ceritalah, Pril!” Safira penasaran.
“Kamu kok tahu kalau aku sering nangis toh, Fir! Iya itu ibuku selalu saja membandingkan aku dengan tetanggaku, dari kecil selalu saja seperti itu. Rasanya tidak pernah ada hal baik yang pernah kulakukan, apapun salah menurut ibuku.” Ratapan April.
“Lalu, bapakmu? Apas ama sikapnya seperti ibumu?” Safira mencoba menggali lebih dalam alasan sahabatnya ini selalu menangis setelah dikunjungi kedua orangtuanya.
“Bapak, beliau orang yang paling baik yang pernah kumiliki. Beliau selalu membelaku apapun kesalahan yang kuperbuat atau membelaku saat ibu menyalahkanku. Saat ibu membandingkanku dengan tetanggaku atau menuntut melakukan sesuatu pun bapak membelaku, bahkan hal itu sering menjadi pemicu pertengkaran mereka. Ibuku ini bukan ibu kandungku, namun tetap kuanggap sebagai ibu kandung seperti yang bapak seringkali sampaikan. Ibu kandungku sudah meninggal saat aku masih kecil.” April bercerita dengan menundukkan kepala, tak kuat ia menahan tangisnya.
“Maaf ya, April.” Safira reflek merangkul dan April balas memeluk dengan menangis sesenggukan.
***
Hari perlombaan tahfidz dimulai. Perlombaan tingkat nasional yang rutin digelar tiap Bulan Ramadhan ini disiarkan televisi nasional menjelang saat berbuka puasa dan siaran ulangnya diputar menjelang waktu bersantap saur. Perlombaan yang dinantikan setiap remaja muslim di seluruh Indonesia ini berhadiah uang pembinaan dan umroh bagi seluruh keluarga pemenang juara satu sampai lima. Inilah alasan April berusaha dengan keras untuk mengikuti dan memenangkannya. April ingin disayang oleh ibunya, tidak dibanding-bandingkan lagi dengan anak tetangga. Dengan memenangkan perlombaan tingkat nasional ini tentunya dapat membanggakan kedua orangtuanya. Pun dia juga menyadari bahwa tubuhnya mulai digerogoti penyakit, umurnya tidak bisa bertahan lebih lama untuk menunggu waktu yang tepat membahagiakan orang-orang yang disayanginya.
Setelah lolos lima puluh besar, April semakin yakin bahwa impiannya terwujud kali ini. Terlebih semua teman-temannya dan para ustadz di pesantrennya sangat mendukungnya. Bapaknya teramat senang dengan prestasi putrinya ini, bahkan berencana kos di sekitar pesantren agar dapat turut mendampingi April setiap kali tampil.
Perlombaan ini digelar secara daring, mengingat penyebaran Covid-19 yang belum terkendali. Meskipun demikian, sistem seleksi dilakukan dengan sangat ketat. Para peserta setelah dinyatakan lolos lima puluh besar masih harus berkompetisi yang kemudian akan dipilih hanya dua puluh besar saja. Selama tiga puluh hari di Bulan Ramadhan dibagi satu minggu untuk lima puluh peserta berkompetisi agar lolos dua puluh besar dan tiga minggu untuk kompetisi dua puluh besar hingga di hari terakhir penentuan juara. Pihak penyelenggara ingin hari pertama Idul Fitri adalah hari spesial bagi para pemenang dan keluarganya.
Memasuki minggu kedua perlombaan nama Aprilia Putri yang berasal dari Pesantren Miftahul Ulum Banyuputih Kidul Lumajang lolos menjadi bagian dari kontestan dua puluh besar. April pun sangat bahagia, dengan nafas yang terengah-engah ia mengucap terima kasih kepada kyai, semua teman-teman dan para ustadz, dan keluarganya, tak lupa ia juga memohon dukungan doa agar tidak ada halangan baginya untuk memenangkan perlombaan ini.
***
Hari terakhir perlombaan sekaligus hari penampilan April yang terakhir. Setelah penampilan terakhirnya, dia jatuh pingsan. Melihat kondisinya yang memburuk, atas paksaan bapaknya, poskestren melarikannya ke rumah sakit terdekat.
Dua jam April belum siuman dari pingsannya. Ustadz pendamping lantas mendapat telepon dari panitia yang memberitahukan bahwa April menempati juara kedua dan berhak mendapat hadiah umroh beserta seluruh keluarganya, segera kabar ini diberitahukan kepada bapaknya April yang setia menunggu putri tersayangnya.
“Nak, April, bangun nduk! Kamu berhasil. Harapanmu membuat bapakmu ini bangga menjadi nyata, nduk. Bangun April! Kita ke tanah suci Bersama, nduk.” Bisik bapaknya pelan sambil meneteskan air mata.
Ustadz memegang bahu bapaknya karena melihat April tersenyum, walaupun masih memejamkan matanya. Namun tak berselang lama, alat petunjuk detak jantung yang dipasang di tubuhnya menunjukkan dia telah tiada. Dokter berusaha semaksimal mungkin agar jantungnya kembali berfungsi, namun takdir berkehendak lain.
Bapaknya menangis sejadi-jadinya sambil memeluk tubuh kurus putri semata wayangnya itu. Ustadz pendamping segera menghubungi pihak panitia perlombaan dan menghubungi pesantren perihal kondisi April yang kini telah wafat. Ustadz juga berusaha menenangkan bapaknya April, agar jenazah dapat segera disucikan.
“Pak, ini ada amplop yang digenggam April saat dia pingsan di studio, mohon bapak terima. Saya belum membukanya, karena bapak ada di sini jadi bapak yang lebih pantas membukanya.” Ucap ustadz sambil menyodorkan ke tangan bapaknya April.
Dibukalah amplop tersebut, yaitu sebuah tulisan yang berisi:
“Bapak, maafkan April. April menyembunyikan penyakit ini dari bapak dan semua orang yang ada di pondok. April tidak ingin bapak bertengkar dengan ibu karena bapak selalu membelaku, apalagi jika tahu kalau April punya kanker pasti ibu akan sering memarahi bapak karena kondisi April. April tahu kalau bapak sayang sekali denganku, April juga sayang sekali dengan bapak.
Bapak, April sangat yakin bisa juara. Karena bapak, kyai, para ustadz dan teman-teman semuanya mendoakannya. Mohon sampaikan salam April kepada mereka semua. Walaupun April sudah tidak ada di dunia ini, mohon bapak dan ibu mengambil hadiahnya, ya! Itu hadiah April untuk bapak sekaligus baktiku untuk bapak dan ibu, karena bapak dulu ketika ibu belum meninggal pernah berdoa ingin mengajak ibu tanah suci.
Ketika di tanah suci nanti, bapak doakan ibu kandung April, ya pak! Dan juga doakan April agar segala dosa kami diampuni Allah SWT. Maafkan April, pak.
Assalamualaikum bapakku, tertanda Aprilia Putri”.
April dinyatakan meninggal dunia tepat setelah Adzan Sholat Isya’ berkumandang. Malam takbir yang biasanya meriah di pesantren tempat April menimba ilmu berubah sendu setelah mendapat kabar dari ustadz yang ada rumah sakit.
April berhasil menjadi seorang tahfidz dengan segala keterbatasan yang ada pada dirinya dan berjuang menghadapi masalah seorang diri tanpa kenal lelah.
Lumajang, 21 Januari 2022
*) Siswi MTs. Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul