Oleh: Abdul Gofur Ar-Roz\i, S.E.I *)
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan wujud penghormatan sekaligus ungkapan rasa syukur atas kelahiran nabi terakhir yang diutus Allah SWT untuk membawa lentera hidayah di seluruh alam semesta. Meskipun peringatan maulid ini bukanlah tradisi yang eksis semasa beliau hidup, kini justru menjadi tradisi rutin tiap tahun dan berkembang luas dalam sosial masyarakat nusantara dan umat muslim di berbagai belahan dunia.
Di Indonesia, tradisi peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW kemungkinan besar dibawa oleh penyebar Islam yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Selanjutnya, tradisi itu mengalami akulturasi budaya seiring proses dakwah hingga kemudian melebur dengan budaya lokal yang corak ragam kebudayaannya berbeda-beda tiap wilayah, sehingga menciptakan banyak bentuk kenduri yang khas dari masing-masing wilayah.
Baca Juga
MENGENAL LEBIH DEKAT RASULULLAH SAW
Memahami ragam bentuk kenduri itu tak dapat dilepaskan dari karakter Nabi Muhammad SAW, baik beliau sebagai seorang utusan Allah SWT maupun sebagai individu manusia. Mengenali beliau akan kita dapati budi pekerti manusia humanis dalam tiap kisah beliau. Agama Islam yang beliau sebarkan pun pada tataran konsep ketauhidan – sebagai dimensi ideal-transendental – tidak boleh dipisahkan dari unsur sosial kemanusiaan (humanisme).
Secara empiris dalam sosial kemasyarakatan, ajaran humanis dan menekankan nilai-nilai filosofis hidup bersosial ini nampak kental dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, beberapa diantaranya:
Nilai Kepedulian
Kepedulian merupakan dasar kemanusian dan sikap empati-simpati untuk menumbuhkan gerakan-gerakan perubahan atas kondisi ketidakberdayaan yang ada di sekitar kita (lingkungan sosial). Maulid Nabi Muhammad SAW menunjukkan sarat akan nilai kepedulian terhadap sesama. Di Aceh misalnya, peringatan ini dikenal dengan istilah “Khanduri Maulod”. Dalam pelaksanaannya, masyarakat menggelar kenduri besar dengan mengundang anak yatim-piatu beserta kerabat dekatnyanya (walinya). Mereka dimuliakan, seolah-olah warga memuliakan Nabi Muhammad SAW yang seorang yatim dan memuliakan orang-orang yang pernah membantu nabi semasa beliau masih kecil.
Baca Juga
BAK KISAH FILM LAYAR LEBAR, BEGINI KISAH HARU MUHAMMAD DAN SYAIMA
Menurut orang Aceh, memuliakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan cara berkenduri besar-besaran adalah suatu keharusan bagi mereka yang mampu. Bukan untuk menyombongkan kekayaannya, tetapi sebagai bentuk syukur atas nikmat iman, Islam, dan ihsan yang telah diperoleh. Melalui Khanduri Maulod, umat Islam Aceh bisa merajut persaudaraan, merawat kerukunan, dan meniadakan status kemasyarakatan untuk hidup berdampingan dalam satu masyarakat komunal.
Menu yang dihidangkan pada perayaan inj sangat istimewa, konon disajikan hanya untuk para raja dan tamu undangannya di zaman Kerajaan Aceh Darussalam. Menu itu adalah Kuah Beulangong dan Bu Kulah. Kuliner ini disuguhkan kepada para undangan (anak yatim dan wali kerabatnya) dalam hajatan Khanduri Maulod, baik yang digelar di masjid-masjid atau di rumah-rumah warga yang melaksanakannya masing-masing.
Di Padang Pariaman, Sumatra Barat, tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW disebut “Bungo Lado” juga sarat dengan nilai kepedulian. Bungo Lado, yang berarti cabai berbunga uang adalah miniatur pohon yang dihias dan lengkap dengan daun tetapi berupa uang-uang kertas. Uang yang ditempelkan/ditancapkan di pohon hias itu oleh para warga yang menghadiri kenduri ini selanjutnya dikumpulkan kemudian disumbangkan untuk kegiatan sosial keagamaan.
Ada lagi, Upacara Sekaten yang digelar oleh masyarakat dan Keraton Yogyakarta dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW juga dapat dianggap memiliki nilai kepedulian. Prosesi menyebar “Udhik-udhik” sebagai tanda dimulainya perayaan Sekaten menjadi simbol upaya dari seorang pemimpin untuk selalu berusaha menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya.
Udhik-udhik adalah bentuk pemberian Raja Keraton Yogyakarta kepada rakyatnya, yaitu sedekah berupa uang logam, beras kuning serta bunga-bunga. Hal ini sudah berlangsung sejak lama tetapi sedekah tersebut kini berubah bentuk menjadi kenduri dengan makan bersama dan masih disertakan uang maupun pernak-pernik sandangan. Sekaten menunjukkan bahwa seorang pemimpin itu haruslah selalu memberikan sesuatu kepada rakyatnya – kemakmuran dan keadilan. Tradisi ini juga sebagai upaya mendekatkan keraton dengan masyarakat yang dipimpinnya.
Selanjutnya, “Ruah Maulud” yang digelar oleh muslim Nusa Tenggara Barat. Tradisi ini mirip dengan Khanduri Maulod di Aceh yang mengundang anak yatim dan fakir miskin untuk bermunajat serta mengagungkan Baginda Nabi Muhammad SAW. Diakhir acara, ditutup dengan makan bersama dan pemberian santunan.
Nilai Persaudaraan
Festival Walima, yaitu perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Gorontalo, juga memiliki nilai humanisme. Adat turun-temurun ini merupakan media mempererat tali persaudaraan antar warga di perantauan dan dengan suku lainnya yang hidup berdampingan di Kota Bitung.
Dalam prosesi Walima, setiap keluarga yang mampu akan membuat Tolangga (wadah besar) yang diisi dengan kue dan makanan tradisional Gorontalo. Salah satu kue khasnya adalah kolombengi, semacam kue bolu kering yang manis dan gurih rasanya. Dalam satu Tolangga, biasanya memuat hingga ratusan kue ini. Tolangga-tolangga itu kemudian diantarkan ke masjid-masjid untuk didoakan melalui prosesi Dikili (zikir bersama) yang dilaksanakan semalam suntuk. Keesokan harinya tepat selepas subuh, kue dan makanan dibagikan kepada masyarakat.
Ada pula Tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW di Ciamis, Jawa Barat, yang disebut “Ngaruwat Lembur”. Tradisi ini juga menjunjung tinggi nilai humanisme mengenai persaudaraan. Dalam Ngaruwat Lembur ini, masyarakat sekampung berziarah secara berjamaan di pemakaman, setelah itu melakukan botram (saling berbagi makanan). Selepas ziarah, setiap warga membawa jenis makanan berbeda-beda di suatu tempat yang telah disepakati – biasanya di halaman mushola atau masjid. Perbedaan makanan yang dibawa menyiratkan perbedaan satu sama lain, kemudian mereka saling berbagi mencoba satu per satu makanan yang ada dan hal ini simbolik dari persamaan rasa sebagai satu saudara seiman.
Berikutnya, “Ampyang Maulid” merupakan tradisi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh masyarakat di Kudus, Jawa Tengah. Masyarakat akan mengarak “Gunungan” berisikan nasi kepel yang dibungkus daun jati, buah-buahan, sayuran, dan hasil bumi lainnya. Gunungan itu berikutnya didoakan bersama kemudian dibagi-bagikan untuk mendapatkan keberkahan di hari kelahiran Rasulullah SAW.
Sama seperti yang lain, ada “Panjang Jimat” yang merupakan tradisi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Bedanya, dilakukan oleh Keraton Cirebon. Upacara ini digelar di alun-alun dengan dihadiri oleh ribuan masyarakat dari berbagai daerah yang menunggu gunungan berisi hasil bumi. Selain itu, peringatan ini juga turut digelar di makam Sunan Gunung Jati. Disini pun akan dipadati oleh masyarakat yang dengan sengaja ingin menghabiskan waktu pada malam Maulid Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak ada gunungan seperti yang disediakan di alun-alun, hanya ada tumpengan berisi nasi dan lauk siap santap berbentuk gunung.
Nilai Keadilan dan Kesetaraan
Tradisi Weh-wehan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di Kendal, Jawa Tengah. Istilah “Weh-wehan” berasal dari kata “weweh” dalam Bahasa Jawa yang berarti memberi. Maka Tradisi Weh-wehan maknanya saling memberi. Dalam praktiknya, masyarakat saling berkunjung untuk bersilaturahmi kepada tetangga, kerabat, maupun teman. Mereka menyiapkan berbagai makanan tradisional yang dihidangkan di depan rumah masing-masing, layaknya menjajakan dagangan. Tetangga yang berkunjung untuk memberi makanan, akan diganti dengan makanan miliknya. Menu makanan tradisional yang dihidangkan, yaitu sumpil. Kuliner ini terbuat dari nasi yang dibungkus daun bambu berbentuk segitiga (mirip ketupat) tapi ada pula berbentuk silinder. Cara memakannya dicampur dengan parutan kelapa yang telah diracik dengan rempah dan sambal pedas, ada pula yang ditambahkan sup dengan kuah santan kaya rempah.
Selanjutnya, di Banyuwangi, Jawa Timur, mereka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW dengan melakukan Tradisi “Endog-endogan”. Endog dalam Bahasa Jawa berarti telur dijadikan simbol kelahiran Nabi Muhammad SAW. Telur ayam atau puyuh yang telah direbus dibagi-bagikan terutama kepada anak-anak sebagai bentuk kepedulian akan kelangsungan hidup dan ajaran agama hingga di masa depan. Maksudnya, yang tua dan yang muda memiliki kesamaan dan kesetaraan untuk berbuat kebajikan. Tradisi ini diyakini sudah ada sejak akhir abad ke-18. Uniknya, tradisi ini tidak hanya dilaksanakan sehari saja pada tanggal 12 Rabiul Awal tetapi dilaksanakan sebulan penuh secara bertahap dengan rangkaian ritual lainnya untuk mengagungkan Rasulullah SAW.
Nilai-nilai humanisme diajarkan melalui tradisi akulturasi budaya dengan baik oleh masyarakat nusantara. Kini, tinggal bagaimana kita sebagai individu dapat memaknainya sehingga mampu memperkuat keimanan dan meningkatkan kualitas kemanusiaan baik secara pribadi maupun dalam hidup bersosial.
*) Guru IPS MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid