Oleh : Amang Philips Dayeng Pasewang, S.Sos *)
Tahun ini Kabupaten Lumajang menginjak usia ke-765, sebuah bilangan umur yang sudah matang secara kultur sosial maupun pembentukan visi-misi menuju arah kemakmuran dan kesejahteraan. Penetapan penanggalan berdirinya suatu wilayah di Indonesia lebih didasarkan pada faktor kesejarahan yang ditunjukkan dengan penemuan bukti-bukti primer sebagai pendukung, misalnya prasasti atau catatan tertulis. Menurut kajian arkeolog maupun sejarawan (-terlepas dari sumber pembanding lain, beberapa menyebut tgl 22 Desember dan lainnya lagi tgl 25 Desember) untuk sementara ini disimpulkan berdirinya Kabupaten Lumajang tertanggal 15 Desember 1255 (Masehi), jika menggunakan Tahun Saka berangka 1177 merujuk pada Prasasti Mula Malurung yang ditemukan di Kabupaten Kediri. Jika diurutkan dalam hal kabupaten/kota tertua di Indonesia, Kabupaten Lumajang berada di peringkat ke-12 setelah Kabupaten Tulungagung dan di wilayah Jawa Timur berada di peringkat ke-8 diatas Kabupaten Sumenep yang berada di peringkat ke-9.
Usia ke-765 tahun menegasikan fakta bahwa Lumajang mampu bertahan dengan segala kondisi hingga saat ini, konflik perang dan lain sebagainya. Fakta unik ini jarang sekali dibedah di forum-forum diskusi. Dari masa kejayaan Tumapel/Singosari, Lumajang dikenal sebagai Nagari Lamajang, sebuah negara otonom dibawah penguasaan kerajaan pusat. Lumajang kala itu sebagai penghasil padi yang mensuplai kebutuhan seluruh kerajaan. Tak heran jika pemimpin Lumajang mendapatkan gelar Nararya Kirana, berarti penguasa wanita dari kasta kesatria memimpin wilayah yang bagaikan sinar mentari di kala pagi hari (embun yang bertengger di pucuk padi menguning – sangat subur hingga tampak seperti sinar mentari di kala pagi hari).
Di masa Kerajaan Kadiri, pun Lumajang tetap eksis. Punggawa-punggawa kerajaan banyak berasal dari Lumajang. Bahkan intrik politik yang mengakibatkan berakhirnya era Kadiri kemudian digantikan Majapahit pun turut melibatkan tokoh yang berasal dari Lumajang.
Pembentukan awal Majapahit, Lumajang mendapatkan wilayah khusus dengan sebutan Lamajang Tigang Juru (Majapahit Timur) meliputi wilayah: Kerajaan Blambangan (Situbondo dan Banyuwangi saat ini); Kerajaan Pajarakan (Pasuruan dan Probolinggo saat ini); Kerajaan Sogenep (Pulau Madura keseluruhan dengan ibukota Sumenep saat ini). Raden Wijaya sebagai raja pertama Majapahit memberi gelar Lamajang Wirabhumi yang berarti Lamajang tanah/daerah para kesatria, pemberian gelar tersebut didasarkan peran tokoh Lumajang dalam berdirinya Majapahit, sebut saja: Arya Wiraraja; Mpu Tambi/Nambi; Ra Kuti; Ra Semi; dan masih banyak lagi – bahkan Gajah Mada pun dalam studi baru-baru ini memungkinkan juga berasal dari Lumajang. Saat itu akulturasi budaya Madura dan Jawa terjadi, karena Arya Wiraraja seorang tokoh yang pernah diasingkan ke Nagari Sogenep yang kala itu Pulau Madura dikenal sebagai Pulau Putih yang gersang di masa akhir Kerajaan Kadiri (-Arya Wiraraja adalah raja pertama Kerajaan Sogenep, beliau yang memakmurkan Pulau Madura secara keseluruhan, dalam diskusi sejarah disinyalir tokoh berpengaruh di masa Kadiri akhir dan Awal Majapahit ini berasal dari Kecamatan Randuagung Lumajang dengan bukti primer adanya candi setengah terpendam di daerah tersebut sebagai tempat disemayamkannya abu beliau, bahkan peristiwa kematiannya disebut sebagai penyebab Pertempuran Bondoyudo salahsatu perang besar di masa generasi raja ke-2 Majapahit (Bondoyudo yang artinya “Bermodalkan Badan” kini menjadi nama sebuah sungai bersebelahan dengan Situs Biting yang dulunya berfungsi sebagai benteng pertahanan membentang dari Gucialit sampai masuk wilayah Jember saat ini).
Kurun waktu berikutnya dengan berakhirnya era Majapahit, atas peran Menak Koncar (Damarwulan) Lumajang mendapatkan perannya di wilayah timur Jawa untuk dakwah Islam di bawah Kerajaan Islam (Kerajaan Demak) – dalam kisah rakyat diceritakan Damarwulan mengendarai Kuda Sembrani (kuda berwarna hitam pekat) bertarung melawan Menak Djinggo penguasa Blambangan untuk memperebutkan wanita yang faktanya adalah pertarungan politik antara kerajaan berlatarbelakang Islam dan kerajaan berlatarbelakang Hindu-Budha. Di masa Kerajaan Demak ini masyarakat Lumajang sudah banyak melakukan migrasi ke wilayah tengah maupun barat Jawa. Sampai pada era Mataram pun migrasi masih terus berlangsung dan Lumajang masih sebagai lumbung padi wilayah timur Jawa seperti halnya di masa Tumapel/Singosari.
Ketika kolonialisme Hindia-Belanda bercokol, Nagari Lamajang berganti nama menjadi Lumajang di bawah Karisidenan Besuki. Di masa Gubernur Deandles dibangun pabrik gula pertama di Indonesia sebagai bukti betapa suburnya wilayah ini untuk pertanian, tepatnya Pabrik Gula Jatiroto. Alasan pembangunan jalan pantai utara dari Batavia (kini Jakarta) sampai Banyuwangi dimaksudkan untuk mempercepat distribusi gula, karena komoditas gula sangat dibutuhkan di Eropa.
Masa-masa pra-kemerdekaan pun Lumajang jadi basis perlawanan melawan penjajah, bersama Divisi Soedirman para pejuang asal Lumajang turut bergerilya (kisah ini kemudian menjadi alasan penamaan “Tahu Berontak”, menu makanan berbahan dasar tahu yang diisi berbagai macam sayur bergizi dan mengenyangkan perut para pemberontak kolonial, “Tahu Berontak” hanya ada di Lumajang di daerah lain lebih dikenal sebagai tahu isi dan ote-ote maupun gorengan). Setelah Indonesia merdeka, Lumajang masuk wilayah Pemerintahan Jawa Timur sampai dengan saat ini. Namun baru-baru ini ada yang kembali mewacanakan akan dimekarkan menjadi Provinsi Tapal Kuda.
Dengan menilik kembali sejarah panjang yang sudah Lumajang lewati, diharapkan masyarakat khususnya generasi muda mampu menjiwai jatidiri Lumajang. Kearifan lokal yang berkesinambungan dengan kelestarian alam patut dipertahankan, regenerasi petani dengan implementasi manajemen dan teknologi modern perlu diberdayakan mengingat Lumajang pernah menjadi lumbung pangan di masa lampau. Aktif berkarya dalam segala bidang pun perlu dilakukan sebagai bentuk turut berperan membangun Lumajang agar sejahtera masyarakatnya dan subur-makmur buminya serta kaya corak seninya.
Bulan Desember umumnya digelar berbagai perayaan selama satu bulan penuh, masyarakat Lumajang menyebutnya Harjalu akronim dari Hari Jadi Lumajang. Penetapannya tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 3 Tahun 2019. Untuk tahun ini perayaan ditiadakan sebagai bentuk penanggulangan pandemi Covid-19, namun pemerintah daerah tetap mengadakan berbagai kompetisi yang sifatnya tidak mengumpulkan massa, seperti misalnya lomba kampung tangguh dan lomba kampung bersih.
Dengan Harjalu di masa pandemi kali ini marilah bersatu-padu, bergotong-royong, dan saling memahami untuk saling menguatkan serta mensinergikan jati diri Lumajang di masa lalu dengan visi Lumajang ke depan agar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia segera terwujud.
Dirgahayu Kabupaten Lumajang, ambal warso Nagari Lamajang.
*) Guru IPS MTs. Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul