Oleh : M. Bakiruddin, SH *)
Terkadang kita dibingungkan oleh kenyataan yang semestinya tidak terjadi. Kita sering dipertemukan dengan fakta yang sama sekali tidak bisa tercerna. Disana memberikan keputusan yang seharusnya tidak diputuskan. Disana menghakimi namun tidak objektif sama-sekali.
Pada dasarnya, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan apapun yang menyenangkan. Namun dibalik opsional ini, terdapat norma agama dan sosial yang harus dijaga dan dipenuhi. Seluruh manusia memiliki hak untuk kebut-kebutan dijalan raya, namun mereka harus memenuhi kewajiban yang berupa tidak membahayakan yang lainnya. Seluruh manusia memiliki hak untuk memilih agama yang akan dianut, namun mereka harus memenuhi kewajiban terhadap agamanya setelah memeluknya. Semua orang berhak memilih sekolah sebagai tempat menimba ilmu, namun mereka harus memenuhi kewajiban yang sudah dipatenkan oleh sekolah. Semua manusia berhak untuk memilih seorang guru, namun mereka harus memenuhi kewajiban yang berupa mentaati gurunya.
Manusia dengan segala kebebasannya tidak akan terlepas dari yang namanya aturan dan tata-tertib. Selama manusia masih ber-agama dan ber-negara pastilah yang namanya undang-undang tetap ada.
Tulisan ini terlahir dari seorang yang berlatar-belakang madrasah, sehingga yang namanya kelahiran madrasah pastilah sangat kental dengan ke-islamannya. Oleh sebab inilah, tulisan ini akan bermuara pada pembahasan persoalan Hak dan kewajiban Versi Islam.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa tuntutan islam kepada pemeluknya hanya beredar pada satu hal, yaitu; berbuat baik. Dari kata “berbuat baik” terlahirlah dua cabang yang berupa; berbuat baik kepada tuhan dan kepada sesama manusia.
Salah-satu dari contoh berbuat baik kepada agama adalah shalat, sedangkan contoh berbuat baik kepada sesama manusia adalah memberikan nasehat.
Andaikan terdapat seorang yang tidak melaksanakan solat kemudian dinasehati, apakah ini keburukan? Bukankah ini merupakan kebaikan sebagai bentuk nasehat? Bukankah ini kewajiban bagi seorang guru sebagai pendidik?Jika perbuatan yang sedemikian dianggap sebagai keburukan, lantas titik buruknya dimana? Apakah karena ada unsur memaksa?
Ok lah, anggap saja menasehati siswa-siswi dianggap sebagai bentuk pemaksaan. Namun yang perlu diingat sebelumnya, bahwa sikap manusia beraneka ragam:
- Terlahir dalam keadaan sempurna dan ber-etika mulya. Kalau yang dihadapi merupakan manusia yang sedemikian, maka cukuplah kita seorang guru duduk santai sambil ngopi.
- Terlahir dalam keadaan memiliki etika tidak begitu sempurna dan perlu disempurnakan. Lantas, jika yang dihadapi seperti ini, apakah seorang guru harus diam saja? Diam seribu kata, acuh, dan membiarkannya memiliki prilaku yang kurang baik kepada agama dan sosial? Bukankah prilaku baik terlahir dari kebiasaan baik? Kalau seorang guru dilarang memantau dan menasehati siswanya, bagaimanakah dengan anak bangsa ini pada akhirnya? Jika seorang guru menegur siswanya dipenjarakan, lantas prilaku baik muridnya akan tercapai dengan apa? Mungkinkah hidayah sebagai solusi terakhir? Bukankah kita diajarkan untuk menjemput bola, bukan menunggu bola? Bukankah hidayah harus di perjuangkan?
*) Pembina Akademik PAI MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid