logo_mts192
0%
Loading ...

Dharmayatra, Mudik Ala Rajasanagara (Memperingati Idul Fitri 1444 H)

Oleh: Danang Satrio P, S.Psi *)

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, mudik sudah menjadi bagian dari tradisi, entah itu mudik Lebaran, mudik Natal dan tahun baru, serta pulang kampung karena sebab perayaan lainnya. Setelah 365 hari bekerja banting tulang di rantau, mudik menjadi momen tepat untuk mengambil jarak dari keriuhan kota maupun penatnya rutinitas untuk bertemu kerabat handai taulan atau mengunjungi tempat-tempat penuh kenangan masa tumbuh kembang atau bahkan napak tilas leluhur keluarga, terutama bertemu dengan orang tua.

Kiranya masa kolonialisme yang dialami masyarakat pribumi tiga ratus tahun lebih merepresi sosial budaya, maka kultur mudik sulit ditelaah di zaman tersebut. Akan tetapi, satu catatan masa silam berkenaan dengan mudik menurut penulis ada pada teks Desawarnana (Nagarakretagama) karya Mpu Prapanca.

Teks itu memuat perjalanan Raja Majapahit Hayam Wuruk setiap tahun pada pasca musim panen padi. Raja bergelar Sri Rajasanagara dikenal memimpin kejayaan Majapahit pada tahun sekitar 1350-1389 ini kerap berkeliling wilayahnya, keluar dari ibukota kerajaan entah untuk menjalin diplomasi baik dengan para patih maupun dengan rakyatnya juga untuk hal lain.

Mpu Prapanca dalam Nagarakretagama menulis kegiatan tersebut yang dalam konteks ini sang raja menjalani laku mudik guna napak tilas leluhurnya. TH Pigeaud dalam Java in the 14 th Century: A Study in Cultural History Vol.IV berdasarkan tulisan Mpu Prapanca menunjukkan tempat-tempat yang dikunjungi Hayam Wuruk, diantaranya Pajang (1353), Lasem (1354), Lodaya (1357), Lamajang (1359), Tirib Sompur (1360), Palah Blitar (1361), dan Simping (1363).

Pigeaud dalam bukunya beranggapan bahwa perjalanan ini dilandasi spiritualisme kepercayaan yang dianut Hayam Wuruk. Tandanya adalah kegiatan-kegiatan dilangsungkan di tempat-tempat suci maupun menemui tetua-tetua pendiri Dinasti Majapahit yang telah menjadi resi.

Menurut buku Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca yang ditulis oleh Nigel Bullough pria berkebangsaan Inggris tetapi memiliki nama Indonesia Hadi Sidomulyo menyatakan kunjungan Hayam Wuruk ke Lamajang (kini Kabupaten Lumajang, Jawa Timur) merupakan kesempatan pertama bagi Mpu Prapanca mendampingi sang raja. Kunjungan itu dilaksanakan pada saat bulan sedang purnama dalam Bhadrapada Tahun Saka 1281 (sekitar minggu pertama Bulan September 1359).

Di Nagari Lamajang yang menjadi pusat ibukota Tigang Juru, rombongan itu membangun tenda menikmati keindahan Pantai Wotgalih yang banyak ditumbuhi bunga teratai. Teluk Wotgalih menurut referensi getok tular merupakan tempat Patih Indrajit (Mbah Drajit) melepas gelar kepatihannya untuk kemudian menyendiri menjadi resi. Disamping itu, di beberapa titik di sekitar Pantai Puger ada beberapa makam kerabat penting pendiri Majapahit dan Blambangan, sayangnya ini hanya diceritakan turun temurun oleh warga tempatan disana.

Di Singhasari, Sri Rajasanagara melakukan puja bhakti di candi pendharmaan milik buyutnya, Kertanegara, raja terakhir Singhasari. Disini raja beristirahat, menikmati alam di sekitar Kedhung Biru dan Bureng. Di area Candi Singosari, ada arca berwujud Siwa-Budha merupakan pendharmaan Kertanegara di Singhasari.

Dari Singhasari, rombongan menuju Kagenengan untuk melakukan puja bhakti di candi yang menjadi pendharmaan Sri Ranggah Rajasa, Ken Angrok (Ken Arok), raja pertama Kerajaan Tumapel dan pendiri Wangsa Rajasa.

Melanjutkan perjalanan menuju arah tenggara, Hayam Wuruk mengunjungi pendharmaan Candi Kidal. Didedikasikan untuk Anusanatha (Anusapati), raja kedua pengganti Ken Arok yang wafat 1170 Tahun Saka (1248 M). Selepas dharma bhakti, rombongan melanjutkannya ke daerah Tumpang, sisi timur Candi Kidal.

Di Tumpang, terdapat Pendharmaan Jajaghu untuk Wisnuwardhana, raja ketiga Tumapel. Tambahan informasi, Wisnuwardhana didharmakan sebagai Siwa di Waleri, sedangkan di Jajaghu (masyarakat kini menyebutnya Candi Jago) Wisnuwardhana didharmakan sebagai Budha yang menurut Bernet Kempers dalam Ancient Indonesian Art diwujudkan dengan bentuk Amoghapasa.

Mudik ala Hayam Wuruk ini disebut sebagai dharmayatra, yaitu ziarah ke pendharmaan leluhur. Meskipun juga rombongan berkunjung ke kadipaten-kadipaten, tempat-tempat wisata keluarga kerajaan, pathirtan, dan kadewaguruan tetapi secara prioritas Rajasanagara berdharma-bhakti kepada leluhurnya Wangsa Rajasa mulai dari Ken Angrok, Anusapati, Wisnuwardhana, dan Kertanegara.

Kemungkinan berangkat dari budaya Dharmayatra ini kemudian diteruskan turun temurun oleh masyarakat Indonesia pada umumnya hingga hari ini, jadilah mudik dilakukan berombongan dan beramai-ramai saat musim-musim tertentu yang dalam hal ini lebaran.

*) Waka. Humas MTs Miftahul Ulum 2 Bakid

Share the Post:

Join Our Newsletter