Dari Max Havelaar Untuk Budi Utomo – Bagian 1

(Memperingati Hari Buku Nasional 2023 & Hari Kebangkitan Nasional 2023)

Oleh: Danang Satrio Priyono, S.Psi *)

Setiap menguak sejarah akan selalu didapati hukum aksi-reaksi atau hukum sebab-akibat, begitupun dengan latar kebangkitan nasional ini yang menjadi cikal-bakal kemerdekaan Indonesia. Penetapan Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati tiap 20 Mei berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959, meskipun peringatan ini sudah dimulai sejak 20 Mei 1948 di Istana Kepresidenan Yogyakarta.

Presiden Soekarno kala itu sering berpidato mengenai kebangkitan nasional yang dipelopori pelajar-pelajar dari Stovia (School tot Opleiding van Indische Artsen) pada Tahun 1908 membentuk serikat organisasi Budi Utomo guna menyatukan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan yang terancam akan invasi maupun perpecahan.

Lumrah jika membicarakan Budi Utomo sebagai sekelompok pemuda cendekia pelopor kebangkitan nasional, akan tetapi yang menarik dan jarang sekali dibahas di setiap peringatan Hari Kebangkitan Nasional adalah rentetan tindakan-tindakan kecil dari individu-individu di seluruh dunia yang kemudian menciptakan kobaran semangat kolektif menuju era baru. Seolah digerakkan oleh takdir yang saling bersimpul.

Dimulai dari era baru di benua eropa yang superior kala itu, lahirnya Revolusi Perancis disusul kemudian revolusi industri dan peperangan perebutan wilayah. Kerajaan-kerajaan di eropa yang saling berperang maupun yang mengalami konflik dalam negeri itu mengalami kemunduran ekonomi, tak terkecuali Kerajaan Belanda.

Baca Juga

HARI KEBANGKITAN NASIONAL INDONESIA: SEMANGAT KEMANDIRIAN DAN PATRIOTISME

Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang semula memegang kendali Hindia Belanda kemudian mengalami kebangkrutan, terpaksa Hindia Belanda dipegang langsung oleh Kerajaan Belanda. Situasi semakin berbeda akibat kiblat konstitusi monarki absolut telah berubah menjadi monarki parlementer yang tentunya juga berakibat pada penerapan kebijakan di Hindia Belanda.

Akibat kemunduran ekonomi, Kerajaan Belanda yang didorong oleh kelompok konservatif kapitalis pecahan VOC kemudian menerapkan tanam paksa (cultuurstelsel) yang diterapkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch pada 1830. Cultuurstelsel mewajibkan tanaman-tanaman yang memiliki profitabilitas di tanah eropa untuk ditanam, siapapun pribumi atau priyayi yang menentang dipastikan bernasib buruk dan mati. Seketika perekonomian Belanda kembali membaik.

Umumnya masyarakat eropa tidak mengetahui apa yang sedang terjadi di Hindia Belanda, yang mereka ketahui hanyalah kekayaan yang mereka dapatkan merupakan hasil dari tanaman di Hindia Belanda. Surat kabar mewartakan bahwa Hindia Belanda damai nan makmur, tapi berbeda dengan apa yang dilihat dan dirasakan oleh Eduard Douwes Dekker.

Menggunakan nama pena Multatuli yang berarti “aku telah banyak menderita”, pria berkebangsaan Belanda ini mengecam Cultuurstelsel. Kebobrokan kolonialisme ditelanjanginya melalui buku novel beraliran roman berjudul “Max Havelaar”. Kendati proses penerbitannya mengalami liku politis, pada akhirnya mampu mengabarkan kondisi yang bertolak belakang dengan narasi “Hindia Belanda yang damai nan makmur”.

Multatuli melakukan perlawanan tidak dengan kekerasan bersenjata yang jika itu dilakukannya hanya akan menumbangkan satu atau dua musuh. Dia dan alter ego Max Havelaar karangannya melalui literasi mencabik pikiran-pikiran picik kolonialisme, imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme. Literasi Multatuli mampu meracuni pola pikir culas dan pragmatis masyarakat eropa yang mengeruk hasil bumi negeri-negeri jajahannya tanpa memberikan imbalan kesejahteraan.

Racun itu melahirkan kesadaran bagi kaum sosialis yang muak dengan sikap borjuis elit kelas atas. Buku Max Havelaar jika pembaca mau menyelaminya masih relevan dengan situasi saat ini, buku itu pun juga menginspirasi banyak penulis buku dan puisi di seluruh dunia untuk melakukan perlawanan di negaranya masing-masing melalui karya literasi. Di Hindia Belanda (kini Indonesia) ambilah contoh RA. Kartini dan kakandanya, Ki Hajar Dewantoro yang menulis di kolom koran Belanda, atau Pramoedya Ananta Toer dengan karyanya “Bumi Manusia”.

Baca Juga

MEMBACA AGAR BERKARYA (MEMPERINGATI HARI BUKU NASIONAL 2023)

Perlawanan literasi Multatuli memicu gerakan-gerakan diskusi di seantero eropa yang kemudian memantik Conrad Theodore Van Deventer menuangkan gagasan “Politik Etis”, yang salah satu pemikirannya yakni masyarakat pribumi harus mendapatkan pendidikan yang layak. Hal yang terjadi dalam masyarakat di Hindia Belanda kala itu, adanya pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang bumiputera. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap bumiputera yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya.

Untuk mencapai “masyarakat berkeadilan”, kaum etis banyak menyusup ke Hindia Belanda berlindung kepada priyayi-priyayi yang juga menginginkan perubahan berusaha menyadarkan kaum bumiputera agar melepaskan diri dari belenggu feodalisme dan kolonialisme serta mengembangkan diri menurut model peradaban barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya. Kala itu, perlawanan bersenjata antara pribumi dan kolonial masih sering terjadi. Pemimpin-pemimpin perang bersenjata itu yang kita kenal di hari ini sebagai pahlawan pra-kemerdekaan atau masa sebelum berdirinya Budi Utomo.

Tak mudah melakukannya, tetapi berselang sekitar sepuluh hingga lima belas tahun dari terbitnya Buku Novel Max Havelaar, gagasan politik etis dari Van Deventer kemudian melahirkan trias politika (berbeda dari trias politika saat Revolusi Perancis terjadi) sebagai implementasi kebijakan konstitusi monarki parlementer Kerajaan Belanda sebagai “Politik Hutang Budi (Ethische Politiek)”. Dibantu Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief), kaum etis Belanda yang disokong politisi C.Th. Van Deventer mewacanakannya di forum-forum diskusi hingga memaksa pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang secara serius.

(bersambung)

*) Waka Humas MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid

One Reply to “Dari Max Havelaar Untuk Budi Utomo – Bagian 1”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *