Oleh: Danang Satrio Priyono, S.Psi *)
Literasi sebagai dasar ilmu pengetahuan sangat mempengaruhi maju-mundurnya suatu peradaban bangsa. Merupakan korelasi yang nyata bahwa semakin tinggi budaya literasi suatu bangsa, maka semakin tinggi pula kemungkinan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya ke arah yang lebih baik. Peradaban maju kemudian terbentuk, mempermudah meraih capaian-capaian kemaslahatan bersama.
Terbukti, bagaimana Bangsa Eropa dan Amerika telah menemukan “Partikel Tuhan” dan menempatkan Teleskop Hubble di antariksa sehingga hari ini dapat memetakan angkasa raya; Atau, Bangsa Tiongkok telah menciptakan matahari buatan dari energi fusi nuklir; Atau Bangsa India yang mengejar ketertinggalan pengetahuannya hingga kemudian saat ini dapat menempatkan negaranya sejajar dengan bangsa-bangsa yang pernah menginjakkan kaki di bulan, bahkan bangsa ini kini dikenal sebagai penghasil ilmuwan pemecah algoritma; Atau, Bangsa Jepang yang pernah luluh lantak tak tersisa akibat Perang Dunia II kini menjelma bak negara autopilot yang mampu menciptakan robot-robot humanoid; Atau yang terakhir, ambisi Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman yang tengah membangun megapolitan futuristik di tengah gurun pasir, dinamainya Mukaab, NEOM, dan The Line.
Lantas, bagaimana dengan bangsa kita? Jujur saja, kurangnya literasi tidak hanya membuat Indonesia jalan di tempat tapi juga mengalami kemunduran. Dalam perlombaan dengan bangsa-bangsa di dunia saat melihat pencapaian mereka, kita seolah tak memiliki tempat untuk ikut berlomba. Kita keteteran merespon segala perubahan dan gagap saat mengambil keputusan. Kurangnya literasi, bagi penulis, memiliki efek negatif yang mendasar, yaitu kita lebih condong menyalahkan dan melimpahkan kesalahan kepada orang lain ketimbang introspeksi diri (evaluasi).
Satu hal yang pasti, bahwa kebiasaan membaca suatu bangsa menjadi cerminan peradaban bangsa itu sendiri. Hal itu tidak dapat dipungkiri bila kita mau jujur pada diri sendiri. Indonesia yang ketertarikan masyarakatnya akan literasi cukup tertinggal di antara bangsa lainnya memang mau tidak mau dan suka tidak suka harus mengakuinya. Akan tetapi, faktori buta aksara bangsa ini bukanlah satu-satunya penyebab. Karena data dari Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakankan angka bebas buta aksara di Indonesia mencapai 97,93 persen, artinya sekitar 2,07 persen atau 3,4 juta warga masyarakat yang masih belum dapat membaca.
Dari data tersebut, penulis mencurigai faktor lain, yaitu “Pembiasaan Membaca dan Menulis, serta Memahami Informasi”. Meskipun belum menemukan literatur penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut, penulis berasumsi bahwa kurangnya pembiasaan berliterasi ini menyumbang stagnasi kemajuan bangsa ini. Coba kita introspeksi diri kembali, sudah berapa judul buku atau artikel yang telah kita baca dalam satu bulan? Sudahkah kita mengalokasikan waktu dalam sehari untuk aktivitas membaca? Berapa kali dalam setahun kita menghadiri diskursus baik formal maupun non-formal?
Menurut penulis, pembiasaan yang nantinya menjadi budaya inilah yang harus kita kejar. Mulai dari lingkungan sosial terdekat, seperti keluarga hendaknya membiasakan membaca kemudian mendiskusikan isi bacaan. Pengenalan kepada anak sedini mungkin tentang literasi, sehingga harapannya jika sudah mengenal dapat dibiasakan – misalnya: setiap harinya seorang anak harus ada yang dibaca meskipun itu hanya satu atau dua halaman. Begitupun di sekolah-sekolah, penulis merekomendasikan pembiasaan membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai setiap harinya. Jika dapat diterapkan di seluruh sekolah pada setiap jenjang, tak pelak akan menciptakan budaya berpikir kritis yang akan membawa angin perubahan untuk kemaslahatan bersama.
Membaca kembali peradaban adi luhung bangsa ini di masa lampau, penulis percaya melalui pembudayaan literasi bahwa suatu saat nanti Nusantara akan menjadi mercusuar dunia. Selamat merayakan bulan literasi, mari berkarya untuk peradaban lebih baik.
*) Waka Humas MTs. Mifrahul Ulum 2 Banyuputih Kidul