Oleh : Aris Purnomo, S.Pd *)
Sudahkah kita mengenali diri sendiri? atau malah belum tahu hakikat siapa diri ini?
“Hidup yang tak dihayati, direnungi dan dipikirkan, tak layak untuk dijalani ” Socrates (470 SM – 399 SM)
Pernahkah kita bertanya apa tujuan kita hidup? Atau untuk apa kita dihidupkan? Kenapa saat ini kita berada di titik seperti sekarang? Barangkali kita juga pernah bertanya tentang kebenaran yang sebenar-benarnya dan bagaimana indikatornya? Seperti bagaimana kebahagiaan dan kadar ukurannya berasal dari mana? Atau apa itu kesuksesan dan bagaimana standarnya? – Akan ada banyak pertanyaan yang menggelantung untuk direnungkan dan dipecahkan. Bagi yang beragama tentunya tak perlu risau, sebab paket jawaban atas pertanyaan hidup telah termaktub dalam Al-Qur’an.
Lantas bagaimana dengan masalah receh yang tentu jawabannya tidak disediakan oleh kitab suci? Misal pertanyaan, kenapa saya harus menghabiskan banyak waktu dan uang untuk dapat disegani orang lain? Kenapa bersekolah jika tidak mengamalkan ilmu yang didapatkan? Kenapa kemalasan dan kenaifan lebih mudah dilakukan? Barangkali pertanyaan tersebut terkesan sederhana, namun bisakah kita memberi alasan yang rasional? Kalaupun jawabnya bisa, maka tentunya dibutuhkan olah pikir dan olah rasa yang mendalam atau seringkali kita sebut dengan perenungan (kontemplasi/tadabbur). Sebab hanya dengan merenunglah, pertemuan dengan jawaban yang hakiki dimungkinkan.
Baca juga :
WASIAT AL-QUR’AN TENTANG ANAK (PERINGATAN HARI ANAK SE-DUNIA 2021)
Kontemplasi disini lebih kepada proses refleksi, sadar diri atau menghadirkan kesadaran dalam menentukan setiap pilihan dan keputusan dalam hidup. Misalkan, apakah saya pantas menjadi seorang guru? Apakah sudah benar tujuan menjadi seorang guru? Ataukah ada tujuan terselip yang mengesampingkan tugas utama sebagai guru?
Masih banyak tentunya persoalan hidup kita yang membutuhkan proses refleksi demi mencapai jawaban yang hakiki, mulai dari hal-hal yang sederhana hingga soal penciptaan alam semesta. Namun yang menjadi soalnya adalah maukah kita menyisihkan waktu sejenak untuk merenung? Minimal merenungi pertanyaan: “Kenapa manusia perlu merenung”.
Filsafat Dalam Pendidikan
Seorang pelajar dan pendidik serta pemangku kebijakan dituntut untuk memikirkan masalah-masalah hakiki mengenai pendidikan. Pemikiran mengenai masalah-masalah pendidikan baik dalam lingkup luas maupun mengerucut akan lebih terasah melalui jalan filsafat pendidikan. Hal tersebut membuat pelajar atau praktisi pendidikan lebih kritis dalam memandang persoalan pendidikan. Disamping itu filsafat ini membuat kita untuk merenungkan masalah hakiki pendidikan yang secara otomatis akan memperluas cakrawala berpikir dan menjadi lebih arif dalam memahami persoalan pendidikan. Filsafat pendidikan akan menuntut kita yang konsentrasi di wilayah pendidikan untuk berpikir reflektif menggunakan kebebasan intelektual yang bertanggung jawab (sistematis).
Filsafat pendidikan adalah muara ide dari berbagai kebutuhan utama pendidikan seperti model pembelajaran dan berbagai aspek lain yang dibutuhkan untuk melanjutkan peradaban keilmuan pendidikan. Seperti filsafat pada umumnya, filsafat ini juga mempertanyakan berbagai kemungkinan yang telah ada lalu mempertanyakan kebenarannya agar dapat memutuskan kebenaran baru dalam menyelami keilmuan ini.
filsafat pendidikan adalah kajian kritis terhadap pemikiran dan sikap yang telah dan/atau akan dibuat melalui pencarian dan analisis konsep paling mendasar untuk tujuan menciptakan pertimbangan yang lebih baik dan paling sesuai dalam wilayah pendidikan yang berusaha untuk mewujudkan pembelajaran yang dapat diikuti oleh peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya dari segi keilmuan, kepribadian, dan nilai positif lainnya agar dapat membentuk kebudayaan/peradaban ideal. Terdapat tiga landasan yang membentuk filsafat pendidikan, yakni: Landasan Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis.
Baca Juga :
MENGIMPLEMENTASIKAN NILAI-NILAI TOLERANSI DALAM AL-QUR’AN
Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang sifatnya spekulatif dan subyektif, membahas hakikat “Yang Ada” secara universal. Ontologi berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Sekaligus mempersoalkan hakikat yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera belaka. Namun semenjak hadirnya pemikiran empiris (pengetahuan yang harus terbuktikan dan dialami secara nyata) banyak orang menyepelekan metafisika (ghaib orang beragama menyebutnya). Padahal, pemikiran empiris muncul dari asumsi-asumsi yang dihasilkan oleh ontologi (metafisika). Bahkan Einstein menyadari hal ini melalui ucapan ikoniknya: “Imagination is more important than knowledge”. Meskipun pemikiran empiris menjadi ujung kekuatan berpikir yang diandalkan hari ini, hal tersebut tidak akan tercipta tanpa spekulasi-spekulasi dari pemikiran ontologis.
Epistemologis memberikan dasar filsafat bagi teori dan praktik pendidikan dalam hal cara memperoleh pengetahuan. Faktanya, pendidikan (belajar-mengajar) sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan, maka pandangan mengenai sumber dan jenis pengetahuan akan sangat berpengaruh terhadap kurikulum dan model atau metode pembelajaran (pengajaran). Oleh karenanya, yang menjadi objek yaitu mempertanyakan: Bagaimana sesuatu itu datang, bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakannya dengan hal lain, dan lain sebagainya – berkenaan dengan situasi, kondisi, ruang dan waktu mengenai sesuatu hal.
Pertanyaan ke mana arah pengetahuan dan pendidikan itulah yang menjadi objek pertanyaan utama aksiologi. Untuk apa pengetahuan itu akan digunakan? Bagaimana hubungannya dengan etika dan moral? Bagimana kaitan prosedur ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral? Apa kegunaan ilmu yang dihasilkan dari pendidikan bagi kita? – Ilmu pengetahuan adalah dasar dari sebuah peradaban dan memberi manfaat kepada manusia melebihi apapun. Misalnya, bagaimana teori maupun rumus algoritma dapat merubah dunia analog menjadi dunia digital seperti saat ini hingga dapat berkembang menjadi Artificial Intelegensi (kecerdasan buatan) yang sangat membantu tugas manusia. Namun dibalik yang sudah terjadi muncul ketakutan bahwa tugas manusia kelak akan digantikan oleh robot dan fakta hari ini kita lebih mengandalkan kecerdasan buatan yang tertanam di smartphone/computer.
Tujuan pendidikan sendiri tergantung dari kebutuhan dan daya adaptasi dengan perubahan zaman. Filsafat diantaranya memiliki tujuan untuk mengkritisi suatu kepercayaan dan sikap yang telah dijunjung tinggi, mendapatkan gambaran keseluruhan, analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Sementara itu, teori pendidikan ditujukan menghasilkan pemikiran/gagasan/ide tentang pilihan kebijakan dan prinsip-prinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat, merumuskan metode praktik pendidikan atau proses pendidikan yang menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara pendidik dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
Semoga istiqomah dalam menjalani proses belajar-mengajar, dan semoga menikmati berfilosofi.
*) Guru Bahasa Indonesia MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid