Oleh: Muhammad Faisol Ali, S.H *)
Setiap kali kisah ini kembali saya baca, selalu sukses membuat air mata saya tumpah. Bukan hanya indah dan mempesona, ending ceritanya bikin mewek. Haru. Ya, ini kisah tentang seorang Nabi yang begitu menghormati dan menyayangi saudara susuannya.
Pada suatu hari, rombongan perempuan inang dari Bani Sa’ad datang ke Makkah untuk mendapatkan bayi yang bisa disusui. Semuanya berharap mendapatkan anak orang kaya, agar kelak ketika besar, ia bisa memberi banyak keuntungan secara sosial dan finansial.
Baca Juga
MENGENAL LEBIH DEKAT RASULULLAH SAW
Satu-persatu perempuan inang tersebut dengan mudah mendapatkan bayi untuk diasuh lalu dibawa pulang, tapi tidak dengan Halimah Sa’diyah. Ia selalu kalah gesit dengan rekan-rekannya.
“Aku sangat beruntung, bisa mendapatkan bayi orang kaya.” kata seorang perempuan tampak sangat bahagia.
“Bahkan aku belum mendapatkan satupun.” jawab Halimah.
“Kau bisa ambil bayi yatim itu, namanya Muhammad.” jawab temannya.
Sepanjang perjalanan pulang membawa bayi yatim bernama Muhammad, Halimah mulai menjumpai banyak keajaiban. Untanya berjalan lebih cepat dari sebelumnya, bahkan lebih cepat dari tunggangan kawan-kawannya. Ia seperti menunggangi unta yang berbeda.
Hari-hari bersama Muhammad terasa penuh berkah, tak hanya bagi keluarga kecil Halimah, tapi juga bagi perkampungan Bani Sa’ad. Muhammad kecil hidup bahagia bersama saudara susuannya, Abdullah, Anisah dan Hadzafah yang lebih dikenal dengan Syaima.
Dua tahun berlalu begitu cepat, seolah Muhammad baru kemarin sore menginjakkan kakinya di perkampungan Bani Sa’ad. Halimah merasa sedih karena sudah saatnya Muhammad dikembalikan ke pangkuan ibunya, Aminah.
Lalu Halimah pergi ke Makkah menemui Aminah, bukan untuk mengembalikan Muhammad, tapi untuk memohon agar ia diberi kesempatan kembali untuk terus mengasuh Muhammad hingga usianya lebih matang. Dan Aminah setuju.

Syaima merupakan saudara susuan yang paling dekat dengan Muhammad. Sebagai seorang kakak, ia begitu menyayangi Muhammad, selalu setia menemaninya bermain, berlari-lari kecil ke sana ke mari dan sesekali saling kejar-kejaran.
Syaima juga gemar menggendong Muhammad. Hingga pada suatu hari, Muhammad kecil menggigit bagian pundak Syaima dan gigitan itu membekas seumur hidup. Kelak, gigitan itulah yang menyelamatkannya dalam sebuah peristiwa besar.
Lima tahun berlalu dan Muhammad sudah sangat fasih. Kultur badui Bani Sa’ad berhasil membentuk Muhammad menjadi sosok yang berpribadi luhur, bekal yang sangat penting untuk mengemban Risalah Agung dari Tuhan.
Ketika Muhammad menjadi Nabi, banyak peristiwa terjadi, silih berganti. Di tangan Muhammad, Islam kian berjaya di Jazirah Arabia.
Pasca penaklukan Makkah, kabilah Hawazun dan Tsaqif mulai gentar. Tapi mereka justru memobilisasi massa dari berbagai koalisinya, salah satunya adalah Bani Sa’ad untuk menghadapi Muhammad dan pasukannya.
Tak tanggung-tanggung, mereka juga membawa para wanita dan anak-anak ke medan tempur, yang dikenal dengan Perang Hunain.
Ketika pasukan Muhammad meraih kemenangan, banyak harta ganimah diperoleh dan banyak pula musuh yang ditawan. Salah satunya adalah perempuan yang sudah cukup tua. Perempuan itu sempat diperlakukan agak kurang nyaman oleh pasukan muslim.
Perempuan itu lalu protes, “kalian tidak tahu siapa aku. Aku adalah saudara pemimpin kalian, Muhammad.”
Tentu mereka tidak percaya. Lalu perempuan tersebut dibawa ke hadapan Nabi Muhammad.
Di hadapan Nabi dia mengatakan, “Wahai Muhammad, aku adalah saudara susuanmu.”
Nabi menjawab, “apa buktinya?”
“Waktu masih kecil, engkau pernah menggigitku saat aku menggendongmu.” balas Syaima.
Tentu Nabi tak lupa peristiwa itu.
Ia menjadi kenangan lama yang membuat mata Nabi tiba-tiba mengkristal, lalu pecah dan tumpah di hadapan perempuan yang begitu menyayanginya.
Butuh waktu beberapa saat bagi Nabi untuk mengenang dan merangkai kembali kepingan-kepingan masa lalu yang sangat ia rindukan itu.
Sontak Nabi membentangkan sorbannya dan mempersilahkan kakaknya duduk di atas sorban tersebut.
“Jika engkau mau tinggal bersamaku, maka derajatmu akan dimuliakan. Jika engkau mau pulang ke perkampungan Bani Sa’ad, maka akan kusiapkan hadiah dan segala kebutuhanmu” kata Nabi.
Tapi Syaima memilih opsi yang kedua. Ia pulang ke kampung halamannya setelah masuk Islam.
Allahu. Allahumma Shalli ‘Ala Muhammad..
Wallahua’lam…
*) Guru MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid