Oleh : Muhammad Faisol Ali, S.H. *)
Membahas asas dan ideologi negara, Pancasila, sampai kapanpun tidak akan sampai pada titik final bila keputusan yang telah ditetapkan selalu dimentahkan dengan pemikiran berkepentingan karena beberapa alasan yang tak relevan. Terkadang ada pihak yang mengembangkan dengan pemikiran subyektif tanpa memikirkan substansif yang massif. Sebetulnya, pembahasan semacam ini begitu mencuat ke permukaan ketika ada segelintir orang yang masih saja memelintir esensi Pancasila demi menjumput kepentingan politiknya. Padahal, sebagaimana maklum, Pancasila sebagai dasar ideologi negara merupakan konsensus yang telah diputuskan bersama oleh pemuka-pemuka bangsa kala itu.
Aksi beberapa kelompok yang terus berupaya mengubah ideologi ini sebenarnya berangkat dari ketidaktauan mereka dalam bernegara atau sangat minim ilmu dalam beragama. Ada saja cara untuk terus menggenjot menyempitkan peran agama (baca; Islam) dengan cara dan sengaja membenturkan ajaran agama dengan Pancasila. Meski kita tau bahwa sebetulnya filosofi Pancasila tidak ada yang bertentangan dengan ajaran agama, bahkan, selaras dan sesuai dengan ajaran agama Islam. Buntutnya, pemahaman yang terus menggerus ideologi negara oleh sebagian kelompok seringkali memantik amarah masyarakat dan memecahkan kesatuan bangsa.
Betapa semangatnya beberapa kelompok kanan (baca; radikalisme) untuk menjadikan negeri ini menjadi negara Islam. Lalu dengan mudahnya mereka melupakan bahwa hal yang terpenting adalah berjalannya syariat itu sendiri. Buat apa dijuluki negara Islam (daulah islamiyah) namun syariat-syariatnya diabaikan bahkan tak diimplementasikan. Mereka berkoar bahwa kedaulatan semacam ini sangat keliru dengan kadaulatan dalam Islam, padahal dasar negara ini sama sekali tidak bertentangan.
Ini alasannya kenapa dulu KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa bela negara bukan bela agama. Bila ditelisik lebih dalam lagi, ada makna terkandung yang sangat dalam di balik fatwa beliau. Menurut Dr. H. Achmad Muhibbin Zuhri, MAg, apa yang difatwakan oleh KH. Hasyim Asy’ari merupakan bentuk ekspresi dari pandangan keagamaan sunni yang lebih mengedepankan substansi Islam daripada formalitas. Dalam pandangan politik (fiqh siyasi) sunni, berlakunya syari’at Islam lebih penting dibanding menampilkan simbol-simbol Islam. Bentuk negara, termasuk di dalamnya mekanisme suksesi (nasb al-imamah) boleh bermacam-macam, tetapi yang penting adalah berlakunya nilai-nilai universal Islam dan mengandung jaminan kebebasan bagi umat Islam untuk melaksanakan ibadahnya.
Dari pemikiran KH. Hasyim Asy’ari ini dapat disimpulkan bahwa hidup beragama dan bernegara tidak melulu difokuskan pada bagaimana kita sekedar menjadi bangsa saja dan fanatik pada pandangan agama masing-masing, tapi, selebihnya kita dituntut untuk lebih cenderung memperhatikan ‘kemaslahatan’ umum sebagaimana juga menjadi maqashid al-syari’ah itu sendiri. Oleh karenanya, kekayaan wawasan dalam beragama dan bernegara sangat penting untuk berlangsungnya negara yang aman dalam menciptakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Adalah hal yang bijak dan sesuai dengan pemikiran Imam al-Ghazali, bahwa tidak boleh bersikap antitesis terhadap suatu nilai. Sepanjang suatu nilai atau sistem di dalam masyarakat tidak bertentangan dengan keyakinan Islam, maka ia mempunyai potensi untuk diarahkan atau dikembangkan agar selaras dengan tujuan-tujan di dalam Islam.
Ini tugas santri. Sejak dulu memang keutuhan NKRI selalu dijunjung tinggi oleh nilai-nilai keilmuan santri itu sendiri. Namun, bila santri hanya sekedar santri tanpa memperhatikan tantangan yang bakal dihadapi, maka kontroversi demi kontroversi bakal merongrong kesatuan negeri ini. Terlebih saat ini, ancaman bukan sekedar datang dari dunia nyata, di dunia maya lebih kejam lagi.
*) Guru SKI MTs. Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul