Oleh : Sahroni, S.Pd.I., M.Pd *)
Teknologi informasi dan komunikasi yang semakin berkembang pesat di abad 21 telah mengubah cara belajar dan pembelajaran. Pendidik dan peserta dihadapkan pada jenis-jenis pekerjaan, teknologi informasi, juga problematika hidup yang mungkin belum mampu untuk dibayangkan sekarang.
Tidak hanya itu, dunia pendidikan dihadapkan pada tuntutan akan pentingnya sumber daya manusia yang berkualitas serta mampu berkompetisi dan berdaya saing. Sumber daya manusia yang berkualitas, yang dihasilkan melalui proses pendidikan yang berkualitas dapat menjadi kekuatan utama untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di abad 21. Salah satu cara yang ditempuh adalah melalui peningkatan mutu pendidikan.
Pendidikan Abad 21 merupakan pendidikan yang mintegrasikan antara kecakapan pengetahuan, keterampilan, dan sikap, serta penguasaan terhadap TIK. Kecakapan tersebut dapat dikembangkan melalui berbagai model pembelajaran berbasis aktivitas yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan materi pembelajaran. Kecakapan yang dibutuhkan di Abad 21 juga merupakan keterampilan berpikir lebih tinggi yang sangat diperlukan dalam mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi tantangan global.
Oleh karena itu, pada abad 21 ini seseorang baik itu pendidik maupun peserta dididik harus memiliki keterampilan 4 C. Keterampilan 4 C, yang merupakan singkatan dari Critical Thinking (berpikir kritis), Collaboration (kemampuan bekerja sama dengan baik), Communication (kemampuan berkomunikasi), dan Creativity and Innovation (kreatifitas dan inovasi).
Empat keterampilan tersebut merupakan salah satu inisiatif yang diupayakan oleh dunia pendidikan barat dalam merespon kebutuhan dan tantangan mendidik di abad 21 yang muncul satu dekade terakhir (tepatnya sejak tahun 2010). Melalui wacana yang mereka advokasikan berkenaan dengan kerangka keterampilan dan pembelajaran abad 21 (21st century skills dan 21st century learning). Salah satu kelompok membidani lahirnya 21st century learning framework adalah Partnership For 21st Century Skills – a National American Management Organization.
Dalam perkspektif dan konteks nilai-nilai ajaran Islam, ke-empat skill (ketrampilan) di atas bukanlah sebuah konsep yang sama sekali baru dalam pendidikan Islam. Dasar-dasar pengajaran dan contoh spesifiknya dapat kita jumpai dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
1. Critical Thinking
Berpikir kritis (critical thinking) merupakan kemampuan untuk memahami dan mengidentifikasi sebuah problem yang sedang dihadapi, mengkoneksikan informasi satu dengan informasi lain yang saling berkaitan, sehingga akan muncul berbagai perspektif, dan mendapatkan sebah solusi dari suatu permasalahan.
Critical thinking dimaknai juga sebagai suatu proses intelektual dalam pembuatan konsep, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis, dan atau mengevaluasi berbagai informasi yang didapat dari hasil observasi, pengalaman, refleksi, di mana hasil proses ini diguanakan sebagai dasar saat mengambil tindakan.
Keterampilan berpikir kritis merupakan hal yang urgen dimiliki pendidik dan peserta didik di tengah berkembangnya teknologi serta derasnya arus informasi di era digital.
Dalam Al-Qur’an proses dapat kita temukan sebuah konsep dan laku berfikir pada level tafakkur yaitu satu sikap yang sangat dianjurkan untuk dimiliki dan dilakukan oleh setiap muslim. Dalam proses seseorang ber-tafakkur, setidaknya terdapat tiga fase diantaranya yang menurut Yahya (2015) melibatkan proses berfikir kritis/critical thinking, dimana terjadi konseptualisasi ide/gagasan dalam proses tersebut. Ber-tafakkur dalam Islam juga memiliki tingkat kedalaman yang berbeda dari konsep berfikir (kritis) pada umumnya, dimana buah dari perenungan seorang muslim tsb tidak akan ia lepaskan dari pemahaman dan pemaknaannya terhadap hakikat keberadaan dirinya dan berbagai kejadian kehidupan lain yang merupakan bagian dari penciptaan alam semesta oleh Allah SWT untuk ia renungi, kaji dan tadabburi. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT dalam QS Ali Imran ayat 190-191
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imron :190-191)
Di samping mendorong berfikir kritis/bertafakkur, Al-Qur’an juga mengajarkan kita untuk senantiasa dapat membedakan dan menyaring kebenaran dari kebohongan. Kemampuan menfilter informasi yang hak dan hoax serta berpikir kritis merupakan salah satu modal bagi peserta didik untuk mengambil keputusan yang lebih bijak dalam bertindak dan menyelesaikan persoalan kompleks dalam kehidupannya.
Dalam Tafsir Al-Baidlawi, disebutkan bahwa Rasulullah saw memberikan ancaman bagi orang yang membaca ayat di atas namun tidak mau mentadabburi (memahami isi dan kandungan) ayat tersebut.
ويل لمن قرأها ولم يتفكر فيها
Di dalam surat dan ayat Al Quran yang lain, Allah SWT juga mengisyaratkan pentingnya berfikir dan bersikap kritis bagi mukmin, yaitu untuk cermat, berhati-hati dan tabayyun dalam menerima dan menyampaikan sebuah informasi dari siapapun terlebih di era informasi, media sosial yang tak dapat dibendung sebagaimana tercantum dalam QS Al-Hujurat ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat : 6)
Ayat ini menegaskan pentingnya meneliti dan memeriksa keabsahan serta akurasi sebuah data dan informasi yang sampai kepada kita dengan merujuk pada sumber-sumber informasi yang dapat dipercaya/dipertanggung-jawabkan dan kredibel agar kita terhindar dari dosa fitnah ataupun musibah yang disebabkan oleh kelalaian dalam menerima dan mengedarkan sebuah berita.
Dalam konteks pembelajaran dan pendidikan, pendidik harus mampu memberikan rambu-rambu kepada peserta didik agar tidak serta menelan informasi dan sumber belajar yang beredar di sosial media. Peserta didik harus diarahkan kepada sumber-sumber belajar yang sesuai dengan karakter dan budaya madrasah dan budaya bangsa.
2. Collaboration
Kolaborasi adalah kemampuan untuk bekerja sama, saling bersinergi, beradaptasi dalam berbagai peran dan tanggungjawab, bekerja secara produktif dengan yang lain, menempatkan empati pada tempatnya, dan menghormati perspektif berbeda
Pada karakter ini, peserta didik dituntut untuk menunjukan kemampuannya dalam kerjasama berkelompok dan kepemimpinan, beradaptasi dalam berbagai peran dan tanggungjawab, bekerja secara produktif dengan yang lain, menempatkan empati pada tempatnya, menghormati perspektif berbeda. Peserta didik juga menjalankan tanggungjawab pribadi dan fleksibitas secara pribadi, pada tempat kerja, dan hubungan masyarakat, menetapkan dan mencapai standar dan tujuan yang tinggi untuk diri sendiri dan orang lain, memaklumi kerancuan.
Dengan berkolaborasi, maka setiap pihak yang terlibat dapat saling mengisi kekurangan yang lain dengan kelebihan masing-masing. Akan tersedia lebih banyak pengetahuan dan keterampilan secara kolektif untuk mencapai hasil yang lebih maksimal. Teknologi yang tersedia saat ini membuat peluang peserta didik untuk berkolaborasi terbuka lebar tanpa harus dibatasi oleh jarak.
Karena itu, peserta didik perlu dibekali dengan kemampuan berkolaborasi sebagai salah satu keterampilan abad 21 yang mencakup kemamuan bekerja sama secara efektif dalam tim yang beragam, fleksibel dan mampu berkompromi untuk mencapai tujuan bersama, memahami tanggung jawabnya dalam tim, dan menghargai kinerja anggota tim lainnya.
Sementara itu, berkaitan dengan ketrampilan kerjasama (collaboration), Islam memerintahkan umatnya untuk bergotong-royong dan saling menolong khususnya dalam hal mengerjakan laku kebaikan. Ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam salah satu surat dan ayatNya:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” [al-Mâidah / 5:2].
Sebagai makhluk sosial, muslim secara tegas mendapatkan dasar pengajaran dan tuntunan akan pentingnya nilai kerjasama (tidak hanya untuk menjaga keberlangsungan ajaran Islam itu sendiri melainkan juga untuk penguatan ukhuwah keumatan) yang diantaranya dapat terjalin melalui proyek kebaikan yang dilakukan secara bersama.
Hal ini pun sesuai dengan yang disabdakan oleh Rasululah Muhammad SAW dalam sebuah hadits:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Sesunnguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya adalah seperti satu bangunan yang satu sama lain saling menguatkan”. (HR. Al-Bukhari)
Anjuran bekerjasama dalam Islam merupakan ajaran yang begitu indah dan bermakna; ia ada sejak awal sebagai salah satu core value yang menuntun umat Islam dalam menggapai common principled goals, baik untuk kepentingan duniawi maupun untuk meraih dan mendapatkan noble objective yang berorientasi ukhrawi atau lebih jauh ke depan.
3. Communication
Communication (komunikasi) adalah kegiatan mentransfer informasi dan pengetahuan, baik secara lisan maupun tulisan maupun multimedia. Tujuan utama komunikasi adalah mengirimkan pesan melalui media yang dipilih agar dapat diterima dan dipahami oleh penerima pesan.
Komunikasi dapat berjalan baik dan efektif apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan, sehingga tidak terjadi salah persepsi dan interpretasi atau multitasfir.
Hadirnya alat-alat komunikasi canggih di era digital seperti smartphone dan sebagainya yang terkoneksi dengan jaringan internet dapat dijadikan sebagai media komunikasi yang efektif bagi pendidik dan peserta didik.
Pada karakter ini, pendidik dan peserta didik dituntut untuk memahami, mengelola, dan menciptakan komunikasi yang efektif dalam berbagai bentuk dan isi secara lisan, tulisan, dan multimedia. Peserta didik diberikan kesempatan menggunakan kemampuannya untuk mengutarakan ide-idenya, baik itu pada saat berdiskusi dengan teman-temannya maupun ketika menyelesaikan masalah dari pendidiknya.
Ketrampilan berkomunikasi (communication skill) juga memiliki dasar dan pijakan dalam ajaran Islam. Rasulullah saw sebagai teladan utama (uswatun hasanah) dan satu figur sentral telah banyak memberikan contoh bagaimana cara berkomunikasi efektif (effective communication). Nabi Muhammad saw dikenal sebagai seorang komunikator yang ulung dan handal sebagaimana diriwayatkan dalam salah satu hadist riwayat Al-Bukhari.
عنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ كَانَ إِذَا تَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَعَادَهَا ثَلاَثًا حَتَّى تُفْهَمَ عَنْهُ ، وَإِذَا أَتَى عَلَى قَوْمٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ سَلَّمَ عَلَيْهِمْ ثَلاَثًا
“Dari Anas dari Nabi Muhammad saw bahwa jika Nabi Muhammad mengucapkan sebuah kalimat (menyampaikan sebuah pesan, maka dia akan mengulanginya tiga kali hingga bisa dipahami. Dan apabila Dia mendatangi sebuah kaum, maka dia mengicaapkan salam sebanyak tiga kali”. (HR. Al-Bukhari)
Hal tersebut diyakini untuk menghindari terjadinya miskomunikasi atau kesalahpahaman. Memulai interaksi dengan salam dan memberikan senyuman sebagai bentuk respek/ penghargaan terhadap pihak yang berinteraksi dengan kita juga dicontohkan oleh baginda Nabi, dan masih banyak lagi bentuk spesifik dari cara berkomunikasi ala Nabi SAW yang beliau contohkan secara langsung termasuk dalam komunikasi sehari-hari, diantaranya berbicara dengan sopan, lemah lembut dan menggunakan Bahasa dan pilihan kata yang baik dan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan berfikir para audiens.
Pilihan kata dan Bahasa yang tidak sesuai dengan kemampuan dan psikologi lawan bicara akan menimbulkan fitnah sebagaimana ditulis oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’nya
ما حدث أحد قوماً بحديث لم تبلغه عقولهم إلا كان فتنة عليهم
“Tidaklah seseorang menyampaikan sebuah pesan (pembicaraan) kepada sebuah komunitas yang tidak dipahami mereka, maka pesan tersebut akan menjadi fitnah (menimbulkan kekacauan) bagi mereka.”
4. Creativity and Innovation
Creativity (kreatifitas) merupakan kemampuan untuk mengembangkan, melaksanakan, dan menyampaikan gagasan-gagasan baru kepada yang lain; bersikap terbuka dan responsif terhadap perspektif baru dan berbeda. Kreativitas juga didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam menciptakan penggabungan baru.
Keterampilan ini sudah semestinya tercermin dalam setiap pembelajaran yang akan dilaksanakan oleh seorang guru. Keterampilan Abad 21 dapat di integrasikan dalam pelaksanaan pembelajaran, sehingga pilihan metode, media dan pengelolaan kelas benar-benar meningkatkan keterampilan tersebut. Karena itulah menjadi sebuah keharusan bahwa kemampuan pedogogi guru harus menyesuaikan dengan karateristik dan keterampilan yang diperlukan di abad 21.
Di ranah kreatifitas (creativity), Islam juga tidak menghalangi umatnya untuk berkreasi dan ber-inovasi sepanjang kreatifitas tersebut tidak menyalahi hukum agama dan tidak menyimpang dari wilayah peribadatan, hukum dan rukun yang wajib. Islam merestui dan terbuka terhadap bentuk-bentuk ekspresi kreatif dan inovasi dalam wilayah peradaban (Mahdi, 2018) dan kehidupan bermasyarakat (muamalah) selama diniatkan untuk kebaikan, memperhalus budi, dan untuk peningkatan dan perbaikan kualitas hidup serta kesehatan umat (Slimi, 2010; Rizali, 2012). Bahkan sejak lama kita telah terbiasa menyaksikan berbagai ekspresi kreatif umat Islam dalam berkesenian dan ber-inovasi, diantaranya melalui karya kaligrafi, puisi, arsitektur Islam maupun penyelenggaraan ajang Muslim Fest di berbagai negara (negara Islam) termasuk di Eropa yang salah satu tujuannya adalah untuk syiar/ dakwah Islamiyah.
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Perubahan di dalam diri sendiri meliputi segala hal yang bersifat internal meliputi keyakinan, pikiran, ide, emosi, keadaan, kondisi, perilaku, tindakan, status atau hubungan. Salah satu elemen penting yang berkontribusi untuk mendorong kreativitas dan inovasi adalah berpikir kritis. Menjadi kreatif dan kritis dalam waktu yang bersamaan bagaikan “dua sisi koin”. Dalam banyak situasi, seseorang yang kreatif memiliki pikiran yang kritis
Oleh karenanya, sebagai muslim kita patut bersyukur karena Islam telah memiliki dan mengajarkan begitu banyak nilai-nilai fundamental serta prinsip kehidupan yang universal, visioner, long-lasting sekaligus holistik dan spesifik. Bermunculannya konsep dan jargon-jargon (dalam kemasan) baru di setiap perkembangan zaman atau dalam kurun waktu tertentu sebaiknya tidak membuat kita lupa bahwa core values dan konsep serupa juga ada dalam ajaran agama kita dan telah menjadi tuntunan dalam kehidupan kita sehari-hari, meskipun terkadang nilai-nilai tersebut terlepas dari kesadaran kita atau belum sepenuhnya kita pahami dan lakukan.
Tugas kita-lah untuk menggali petunjuk-petunjuk tersebut dalam Al-Qur’an dan mengembangkannya sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Dengan demikian Al-Qur’an tidak hanya menjadi bahan bacaan harian. Al-Qur’an akan menjadi petunjuk dalam kehidupan kita. Apapun profesi kita, jabatan kita dan peran kita dalam semua aspek kehidupan. Dengan mengejewantahkan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan dan aktivitas sehari-hari – meminjam istilah Prof. Dr. Quraisy Shibah – itulah sejatinya arti “Membumikan Al-Qur’an”.
Bahan Bacaan
- Tafsir Al-Qur’anil Karim Imam Ibnu Katsir
- Tafsir Jami’ul Bayan Ibu Jarir At-Thabari
- Shahih Al-Bukhari
- Rohmadi, Syamsul Huda. (2018). Pengembangan berfikir kritis dalam Al-Quran: Perspektif psikologi Pendidikan. Journal Psikologi Islam
- Langgulung, Hasan. (1991). Kreativitas dan Pendidikan Islam: Suatu Kajian Psikologi dan Falsafah. Jakarta: Pustaka Al-Husna
- Al-Khalili, Syaikh Amal Abdus-Salam. (2005). Mengembangkan Kreativitas Anak. Terj. Umma Farida. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
- Mujib, A. (2015). Implementasi Psiko-Spiritual dalam Pendidikan Islam. Madania, 19 (2). 195-204.
- Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, tt, Ihya’ Ulumiddin. Surabaya : Al-Hidayah
- Al-Baidlawi, Tafsir Al-Baidlawi. Maktabah Syamilah, Ishdar Tsani
*) Kepala MTs. Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul