Nahdlatul Ulama dan Melokalitas Dunia

Oleh : Wiwin Sugianto, S.Pd. *)

Organisasi keagamaan dan kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU) yang lahir dan berkembang di Indonesia kini memulai babak barunya dalam kancah internasional. Sejak Muktamar NU ke-30 Lirboyo, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberi rekomendasi diperbolehkannya pendirian Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) di luar negeri. Selanjutnya dalam Kongres I PCINU Se-Dunia di Beirut 7-9 Juli 2012, tercatat lebih dari 20 PCINU yang telah berdiri dan aktif – kini lebih dari 30 PCINU tersebar di berbagai negara di semua benua dunia. NU kini bukan lagi organisasi setingkat nasional, akan tetapi telah melebarkan gerakan menjadi organisasi internasional.

Kekhasan Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan di tengah masyarakat Indonesia karena sifatnya yang lokalitas dengan budaya masyarakat setempat. Menyelesaikan permasalahan dengan tawassuth, tawazun, dan i’tidal adalah kunci sukses NU hingga kini dapat bertahan sekaligus hadir untuk dunia global. Perdamaian abadi di dunia yang merupakan cita-cita Indonesia merupakan implementasi Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, oleh karenanya organisasi ini berdiri mengedepankan persaudaraan seagama (ukhuwwah islamiyyah) dan juga persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah) berlandaskan ahlus sunnah wal jama’ah (aswaja).

Kekhasan NU dengan pendekatan lokalitas dan penerapan kunci sukses di atas diharapkan mampu diterapkan PCINU, karena tiap-tiap negara memiliki latar budaya dan etnis berbeda – sama halnya dengan Indonesia yang juga memiliki beragam perbedaan. Islam ahlus sunnah wal jama’ah (aswaja) menurut beberapa cendekiawan muslim dunia digadang-gadang mampu menyelesaikan permasalahan yang melanda dunia saat ini. Selain itu pula aswaja cenderung beraliran Islam Sunni sama halnya 80% penganut Islam dunia, maka akan lebih landai mencapai tujuan bersama.

Isu permasalahan-permasalahan di level internasional cepat atau lambat akan merangsek masuk ke Indonesia, terlebih dengan arus keterbukaan informasi yang luar biasa laju. Era globalisasi di mana satu entitas (individu/kelompok/komunitas/negara) dengan lainnya akan saling terhubung tanpa sekat. Efek buruk globalisasi menyebabkan individualisme, radikalisme, eksploitasi dan oportunisme dalam arti sempit. Di satu sisi Islamofobia dengan menyematkan jihadisme maupun islamisme sebagai konotasi gerakan ekstrim telah merasuki alam bawah sadar masyarakat dunia. Indonesia sudah mengalami beberapa tragedi yang mengatasnamakan gerakan Islam, namun kita semua harapkan tidak terulang kembali – walaupun di berbagai belahan bumi lain hal yang sama masih saja terjadi.

Diskursus keagamaan maupun diskursus kemanusiaan dan semacamnya sudah sering dilakukan untuk menampilkan wajah Islam, namun itu semua akan tampak percuma jika hanya dilakukan dalam tataran teoritis. Dengan santri dan Nahdliyyin yang berdiaspora ke seluruh negara akan memberi paradigma baru di tengah globalisasi. Mereka (melalui PCINU) hadir membawa aswaja dan Islam Nusantara di tiap-tiap komunitas, mengemban misi selayaknya Wali Songo yang melibatkan budaya lokal sebagai media strategi untuk berdakwah melalui pembaharuan dan modifikasi budaya dengan muatan agama hingga masyarakat setempat memahami “pesan” Al-Quran dan As-Sunnah. NU melakukan apa yang sudah para wali lakukan, bahkan menjadi adagium NU “Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang baik (Al-muhafadha-tu ‘ala al-qadimisshalih wa al-akhdzu bil-jadidi al-aslah)”. PCINU tidak seharusnya berkutat pada tataran dogmatis lagi, sudah saatnya mengeksplorasi kekuatan internal – menguji segala sumber daya kekuatan.

Membentang jalan jihad Nahdliyyin di era globalisasi, kemampuan diri dan kedewasaan kelembagaan mutlak dibutuhkan. Selain itu, dibutuhkan ijtihad untuk menggali aswaja dalam paradigma global dan menyusun strategi melawan sekulerisme. Lokalitas di mana Nahdliyyin dan santri berdiaspora di manapun berada harus dapat mengintegrasikan dengan budaya setempat, menginfiltrasi dengan aswaja untuk menciptakan tatanan yang baik dan dapat menjadi pelindung bagi tradisi-tradisi yang baik yang sebelumnya telah ada (al-qadim ash-shalih).

Usia 95 tahun NU tahun ini adalah momentum menyebarkan aswaja ke seluruh penjuru dunia dan meneguhkan komitmen kebangsaan dalam era globalisasi. Selamat Hari Lahir Nahdlatul Ulama.

*) Guru MTs. Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *